Selasa, 15 Desember 2009

tawassul

TAWASSUL, penyambung antara kita dengan Allah
Kajian untuk warga NU.
Oleh: A. Adib Masruhan

Tawassul dalam pengertian Agama adalah berdoa kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara sesuatu yang mempunyai nilai lebih. Tawassul berarti menjadikan sesuatu sebagai perantara dalam usahanya untuk memperoleh kedudukan yang tinggi disisi Allah SWT, atau untuk mewujudkan keinginan dan cita citanya. Berdoa dengan bertawassul maksudnya memohon kepada Allah dengan menyebutkan sesuatu yang dicintai dan diridloi-Nya.
Tawassul merupakan salah satu cara atau metode serta bentuk dalam memohon yang diarahkan dan dihadapkan kepada Allah SWT, dengan menggunakan “kelebihan” sesuatu dalam do’a tersebut. Sedang hakikat dalam berdo’a dengan bertawassul adalah menghadap yang sebenar benarnya kepada Allah SWT. Orang yang bertawassul itu sama dengan berdo’a dengan menggunakan media atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, kalau terjadi keyakinan selain ini (hanya sekedar media / wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah) maka orang yang berdoa telah melakukan Syirik.
Orang melakukan tawassul atau berperantara dengan seseorang karena dia mencintainya dan punya keyakinan bahwa Allah juga mencintai orang tersebut (seseorang yang menjadi perantara tersebut) karena juga sebagai orang yang Sholih. Namun bertawassul bukan merupakan keharusan dalam berdo’a, bukan merupakan syarat dalam berdo’a, bukan penyebab terkabulkan do’a, hanya sekedar menambah kemantapan (dalam perasaan) untuk terkabulkan doanya, sedangkan dalam berdo’a secara mutlak adalah permohonan yang tertuju khusus kepada Allah SWT.
Semua ulama sepakat bertawassul kepada Allah SWT dengan menggunakan amal Sholeh sendiri, sangat dianjurkan, seperti kita melakukan sholat, berpuasa, baca Alqur’an atau bersedekah kemudian berdo’a kepada Allah dan bertawassul dengan puasanya, sholatnya, sedekahnya atau bacaan Alqur’anya. Bertawassul seperti ini sangat diharapkan untuk bisa terkabulkan do’anya dan memperoleh yang diminta. Dasar dari ungkapan ini adalah hadits Nabi yang menceritakan tiga orang yang sedang berlindung didalam gua tapi guanya tertutup dengan batu, sehingga mereka tidak bisa keluar, mereka sepakat memohon kepada Allah sambil bertawassul dengan Amal shalih yang pernah mereka lakukan sebelumnya, yang satu bertawassul dengan perbuatan berbakti kepada kedua orang tuanya, yang satu lagi bertawassul dengan pernah menjauhi perbuatan dosa atau maksiyat dan yang terakhir bertawassul dengan pernah menanggung amanat orang lain tanpa pamrih sedikitpun. Hadits secara lengkap adalah sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما عن النَبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: خَرَجَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَمْشُوْنَ، فَأَصَابَهُمْ المَطَرُ، فَدَخَلُوْا فِِي غَارٍ فِي جَبَلٍ، فَانْحَطَتْ عَلَيْهِِمْ صَخْرَةٌ، قَالَ: فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: ادْعُوا اللهَ بِأَفْضَلَ عَمَلٍ عَمِلْتُمُوهُ، فَقَالَ أَحَدُهُمْ: اَللهُمَّ إِنِّي كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ، فَكُنْتُ أَخْرُجُ فَأَرْعَى، ثُمَّ أَجِيْءُ فَأَحْلِبُ، فَأَجِيْءُ بِالحِلاَبِ، فَآتِي بِهِ أَبَوَيَّ فَيَشْرَبَانِ، ثُمَّ أَسْقِي الصِبْيَةَ وَأَهْلِي وَامْرَأَتِي، فَاحْتُبِسْتُ لَيْلَةً فَجِئْتُ فَإِذاً هُمَا نَائِمَانِ، قَالَ: فَكَرِهْتُ أَنْ أُوْقِظَهُمَا، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغُوْنَ عِنْدَ رِجْلِي، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبُهُمَا حَتَى طَلَعَ الفَجْرُ، اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَمَاءَ، قَالَ: فَفُرِجَ عَنْهُمْ، وَقَالَ الآخَرُ: اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي كُنْتُ أُحِبُّ امْرَأةً مِنْ بَنَاتِ عَمّي، كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرَّجُلُ النِّسَاءَ، فَقَالَتْ: لاَ تَنَالُ ذَلِكَ مِنْهَا، حَتَى تُعْطِيَهَا مِائَةَ دِيْنَارٍ، فَسَعَيْتُ فِيْهَا حَتَى جَمَعْتُهَا، فَلَمَا قَعَدْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا، قَالَتْ: اِتَّقِ اللهَ، وَلاَ تَفُض الخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ، فِقُمْتُ وَتَرَكْتُهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً، قَالَ: فَفُرِجَ عَنْهُمْ الثُلُثَيْنِ، وَقَالَ الآخَرُ: اللهُمَّ إِنُ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي اسْتَأْجَرْتُ أَجِيْراَ بِفِرَقٍ مِنْ ذُرَّةٍ، فَأَعْطَيْتُهُ وَأَبَى ذَاكَ أَنْ يَأْخُذَ، فَعَمِدْتُ إِلَى ذَلِكَ الفِرَقِ فَزَرَعْتُهُ حَتَى اشْتَرَيْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرَاعِيْهَا، ثُمَّ جَاءَ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ الله أَعْطِنِي حَقِّي، فَقُلْتُ اِنْطَلِقْ إِلَى تِلْكَ البَقَرِ وَرَاعِيْهَا، فَإِنَّهَا لَكَ، فَقَالَ: أَتَسْتَهْزِئُ بِي؟ قَالَ: فَقُلْتُ: مَا أَسْتَهَزِئُ بِكَ وَلَكِنّهَا لَكَ، اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا، فَكُشِفَ عَنْهُمْ.
روواه البخاري في كتاب البيوع حديث رقم: 603
Dari Ibn Umar RA dari Nabi SAW berkata: ada tiga oranng sedang melakukan perjalanan, kemudian datang hujan, mereka berteduh di dalam gua disebuah gunung, dan runtuhlah sebuah batu besar menutup (pintu) gua tersebut ,-Nabi bercerita- maka sebagian dari mereka mengatakan: Berdoalah kalian dengan bertawassul / berperantara amal terbaik kalian, maka berdoalah seseorang dari mereka: Allahumma, saya mempunyai dua orang tua yang telah renta, pekerjaan saya menggembala (disiang hari), pulang dan merah susu untuk mereka, aku bawakan susu kepada mereka untuk diminum, kemudian untuk anak anak dan isteriku. Suatu malam aku terlambat pulang dan mereka telah tidur, -Nabi SAW bercerita- saya tidak berani membengunkan mereka, anak anaku di kakiku iri dengan mereka, begitu itu sampai fajar menyingsing. Ya Allah, Engkau tahu bahwa itu aku lakukan untuk mencari ridlo-Mu, maka bukakan batu ini sehingga kami melihat langit. -Nabi SAW bercerita- maka dibukakanlah batu tersebut sedikit. Yang lain berdoa: Ya Allah, Engkau tahu aku mencinta seorang perempuan dari sepupuku, seperti orang sedang dimabuk cinta pada wanita, dia mengatakan: kamu tidak akan mendapatkan tubuhku kecuali memberi uang seratus dinar. Aku usahakan untuk mengumpulkanya, sampai kuperolehnya, dan disaat aku sudah duduk diantara kedua pahanya, dia berkata: Takutlah kamu kepada Allah, Jangan lah kamu lobangi cincin itu kecuali dengan hak haknya. Aku berdiri dan meninggalkanya.Ya Allah, Kamu tahu aku melakukan itu karena mencari ridlo-Mu, maka bukakanlah batu ini. Maka terbukalah batu tersebut dua pertiga. Dan yang lain berdoa: Ya Allah, Engkau tahu aku mempekerjakan seorang dengan bayaran segantang jagung, pada waktu aku berikan upah kerjanya dia menolak dan pergi. Kemudian aku tanam jagung tersebut dan berkembang sampai bisa untuk membeli sapi dan kandangnya. Beberapa tahun kemudian dia datang sambil berkata: Hai Abdullah, berikan hak saya yang dulu, aku jawab: ambillah sapi itu, dia berkata: jangan mengejekku, -Nabi bercerita-: aku menjawab: bukan aku mengejekmu, tapi itu milikmu. Ya Allah, ku lakukan itu karena mencari ridlo-Mu, maka bukakanlah batu itu. Dan terbukalah batu tersebut. (HR Bukhori:603)

Namun yang menjadi permasalahan disini adalah bertawassul bukan dengan amal shalih sendiri, tapi menggunakan keberadaan atau kepribadian orang lain, atau bertawassul dengan para Nabi, dengan para Wali Allah, dengan orang Shalih dan lain sebagainya seperti;
Ya Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan keagungan Nabi-Mu Muhammad SAW,
Ya Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan Shahabat Nabi-Mu Abu Bakar Shidiq,
Ya Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan Kekasih-Mu Wali-Mu Syekh Abdul Qodir Jaelani,
Ya Allah selamatkan umat ini dengan Ahli perang Badar dan seterusnya, tawassul semacam ini dikatakan oleh sebagian orang sebagai hal terlarang, yang bid’ah dan yang melakukanya menjadi musyrik.
Kalau kita perhatikan sejenak, bertawassul dengan keberadaan orang lain tersebut hakikatnya kita bertawassul dengan amal kita sendiri, kita punya keyakinan bahwa seseoramg yang kita hormati dan kita cintai adalah orang yang dicintai oleh Allah SWT, karena beliau adalah orang yang berjihad menegakkan agama Allah, Rasa cinta kita kepada orang tersebut merupakan amal kita, dalam berdo’a dan bertawassul tersebut seperti kita mengatakan: “Ya Allah, saya mencintai dia, dia telah mencintai-Mu, dia secara ikhlas berjuang menegakkan agama-Mu, dan saya percaya Engkau mencintainya, Engkau ridlo atas perbuatanya, maka dengan ini aku bertawassul / berperantara dengan cintaku padanya dan dengan keyakinanku bahwa Engkau mencintainya agar Engkau memberiku ………”. Ungkapan ini dengan ungkapan diatas tadi adalah sama, sehingga tidak ada larangan dari siapapun dalam melaksanakan do’a dengan tawassul seperti contoh contoh diatas.
Bahkan bertawassul merupakan ajaran yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan, dan adakalanya menyampaikan dalam sebuah cerita yang menjadi teladan atau beliau sendiri juga melakukan. Beberapa dalil hadits berikut sebagai contoh tawassul:

A. Nabi Adam bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW.

عَنْ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رضي الله عنه قال: قال رسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: "لَمَا اقْتَرَفَ آدَمُ الخَطِيْئَةَ، قَالَ: يَا رَبِّ ! أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي، فَقَالَ الله: يَا آدَمُ ! كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ! ِلأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيَدِكَ، وَنَفَخْتَ فِيّ مِنْ رُوْحِكَ، رَفَعَََََََََََََََْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُوْبًا: لااِلَهَ الا الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله، فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ اِلَى اسْمِكَ إِلاَ اَحَبَّ الخَلْقِ اِلَيْكَ، فَقَالَ الله: صَدَقْتَ يَا آدَمُ، إِنَّهُ لأَحَبُّ الخَلْقِ اِلَيَّ، ادْعُنِي بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ، وَلََََََوْلا مُحَمَدٌ مًا خَلَقْتُكَ "
أخرجه الحاكم في المستدرك وصححه 2/615
Dari Umar ibn Khathab RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: ketika Adam melakukan kesalahan, berdoa: Ya Tuhanku, saya memohon dengan keberadaan Muhammad, agar Engkau mengampuniku. Allah bertanya: Hai Adam, Bagaimana kamu mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya ? Jawab Adam: Ya Tuhanku, sewaktu Engkau menciptakanku, dan meniupkan Ruh kepadaku, aku mengangkat kepalaku dan kulihat tulisan di tiang Aresy : Lailaha illa Allah, Muhammad Rasulullah, dari situ aku ngerti bahwasanya Engkau tidak menyandingkan ke Asma Mu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai. Allah berfirman: Kamu benar hai Adam, dia adalah makhluk yang paling aku cintai, berdoalah dengan (bertawassul) keberadaanya maka Aku ampuni kamu, seandainya tidak ada Muhammad aku tidak menciptakanmu.” (HR Al Hakim 2\615)

Dalam hadits ini diceritakan oleh Rasulullah SAW bahwa Nabi Adam bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW, maka ada kesimpulan yang bisa dipetik sebagai berikut:
1. Nabi Adam bertawassul dengan makhluk yang belum diciptakan (Muhammad), berarti boleh melakukan tawassul dengan orang yang tidak atau belum hidup.
2. Boleh bertawassul dengan keberadaan orang, bukan hanya dengan amal shalih.
3. Bertawassul dengan orang yang mempunyai nilai tinggi disisi Allah.

B. Orang Yahudi bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW.

وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلىَ الذِيْنَ كََفَرُوْا، فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهِ فَلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الكَافِرِيْنَ {البقرة 89 }
“Dan setelah datang kepada mereka Alqur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka memohon (dengan bertawassul kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah lah atas orang kafir”. (QS 2:89)

Dalam ayat ini Allah menceritakan ulah kaum Yahudi yang mengingkari kedatangan seorang Nabi yang mereka tunggu dengan membawa Kitab yang membenarkan / meluruskan kitab milik mereka, dimana sebelumnya mereka selalu bertawassul / berperantara dengan Nabi yang akan datang memohon kepada Allah untuk diberi kemenangan dalam setiap berperang melawan orang orang kafir.

C. Tawassul dengan Nabi SAW semasa hidupnya.

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حَنِيْفٍ، أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ البَصَرِ أَتَى النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: ادْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيَنِي، قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ، قَالَ: فَادْعُهُ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهُ، وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ، اللهُمَّ إِنِي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ، لِتَقْضِىَ لِي، اللهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ.
رواه الترمذي في كتاب الدعوات حديث رقم: 16604 قَال الترمذي: حديث حسن صحيح
Dari Utsman ibn Hanif, bahwasanya ada seorang lelaki buta menghadap Nabi SAW seraya berkata: Doakanlah kepada Allah agar menyembuhkan kebutaanku. Nabi berkata: kalau memang kamu mau akan aku doakan, dan kalau kamu bersabar akan lebih baik bagimu. Orang tersebut berkata: doakanlah. Nabi memerintahkan agar mengambil air wudlu dengan sempurna, kemudian meminta kepada Allah dengan doa seperti ini: Ya Allah, saya memohon dan menghadap kepada Mu dengan perantara Nabi Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat, saya menghadap denganmu (Muhammad) kepada Tuhanku dalam urusanku agar dikabulkan untukku, Ya Allah kabulkanlah untukku. (HR Tirmidzi 16604, haditsnya Hasan Shahih)

Dalam hadits riwayat Tirmidzi ini, Nabi mengajarkan bagaimana sebaiknya tawassul itu dilakukan, diajarkan agar melakukan tawassul dengan dirinya, tapi doa tetap tertuju kepada Allah SWT. Berdoa memang bisa langsung kepada Allah, bisa minta kepada orang yang lebih shalih untuk mendoakan untuknya, tapi juga bisa dilakukan sendiri dan bertawassul dengan Nabi seperti cerita kedatangan orang tersebut kepada Nabi agar beliau berkenan mendoakan dan menjadi perantara / wasilah, atau juga do’a bisa dilakukan dengan tanpa tawassul, tapi bertawassul lebih baik bagi yang berdo’a seperti yang diajarkan oleh beliau.

D. Tawassul dengan barang bekas dari Nabi SAW.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ خَاتَمُ النَبِي صلى الله عليه وسلم فِي يَدِهِ، وَفِي يَدِ أَبِي بَكْرٍ بَعْدَهُ، وَفِي يَدِ عُمَرَ بَعْدَ أَبِي بَكْرٍ، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ جَلَسَ عَلَى بِئْرِ أَرِيْسَ، قَالَ: فَأَخْرَجَ الخَاتَمَ، فَجَعَلَ يَعْبَثُ بِهِ فَسَقَطَ، قَالَ: فَاخْتَلَفْنَا ثَلاَثَةَ أَيَامٍ مَعَ عُثْمَانَ، فَنُزِحَ البِئْرُ، فَلَمْ يَجِدْهُ.
رواه البخاري في كتاب اللباس حديث رقم: 5429
Dari Anas berkata: Cincin Nabi SAW dulu berada di tangan beliau, setelah itu berada pada tangan Abu Bakar, terus berada pada tangan Umar setelah Abu Bakar, pada masa Utsman sewaktu beliau duduk dipinggir sumur Aris – Anas bercerita – beliau melepas cincin tersebut, namun cincin tersebut terlepas dan masuk kedalam sumur, selama tiga hari kami mencari dengan Utsman, sampai sumur dikuras cincin tersebut tidak ditemukan. (HR Bukhori:5429)

Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa barang bekas pakai oleh Nabi SAW bisa dibuat tawassul, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka memakai cincin Nabi SAW untuk apa kalau bukan untuk bertawassul disetiap langkah dan setiap aktivitas agar memperoleh perlindungan Allah SWT, lebih jelasnya kita lihat hadits
(باب مَا أَكْرَمَ اللَّهُ تَعَالَى نَبِيَّهُ بَعْدَ مَوْتِهِ)
berikut ini:

عن عبدالله عَنْ أَسْمَاءَ فَقَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَخْرَجَتْ إِلَىَّ جُبَّةَ طَيَالَسَةٍ كِسْرَوَانِيَّةً لَهَا لِبْنَةُ دِيبَاجٍ وَفَرْجَيْهَا مَكْفُوفَيْنِ بِالدِّيبَاجِ فَقَالَتْ هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا وَكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَلْبَسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا.
صحيح مسلم - (ج 14 / ص 23

Dari Abdullah berkata: Asma menunjukkan jubbah lorek lorek yang sakunya terbuat dari sutera tebal yang biasa diperuntukkan para raja Kisra (Persia), dengan model terbelah depanya, Asma mengatakan: ini Jubbah Rasulullah SAW yang biasa dipakainya, dulu ada pada Aisyah, namun setelah Aisyah wafat aku pegang untukku, dan kami mencucinya kalau ada orang sakit untuk pengobatan agar sembuh. (HR Muslim 14:23)

Beberapa sahabat Nabi bertawassul dengan jubbah beliau dalam urusan pengobatan untuk setiap orang yang sakit, hal itu dikatakan dengan kata “Nahnu” yang artinya kami, membuktikan bahwa dalam kepercayaan para sahabat terhadap barang barang yang ditinggalkan oleh Nabi SAW adalah mempunyai nilai lebih dibandingkan barang biasa yang juga bisa digunakan tawassul, selain jubbah dan cincin tersebut masih ada juga mereka berebut rambut Nabi, helai perhelai disimpannya, bahkan air bekas wudlu beliaupun diperebutkan disaat beliau masih hidup tanpa ada larangan dari beliau.

E. Tawassul dengan orang yang punya nilai lebih.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَابِ رضي الله عنه كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقَى بِالعَبَاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ: اللهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا، قَالَ: فَيُسْقَوْنَ.
رواه البخاري في كتاب الجمعة حديث رقم: 954
Dari Anas ibn Malik bahwasanya Umar ibn Khathab apabila mengalami paceklik (kekeringan) meminta hujan kepada Allah sambil bertawassul dengan Abbas ibn Abdul Muthalib, beliau berdoa: Ya Allah, dulu kami meminta kepada Mu sambil bertawassul dengan Nabi Mu, tapi kini kami memohon kepada Mu sambil bertawassul dengan paman Nabu Mu, maka turunkanlah hujan. Anas berkata: maka turunlah hujan. (HR Bukhari:954)

ولفظ الحديث كاملا: عن عبد الله بن عمر قال: استسقى عمر بن الخطاب – عام الرمادة – بالعباس بن عبد المطلب فخطب الناس فقال: يا أيها الناس ! إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يرى للعباس ما يرى الولد للوالد، فاقتدوا أيها الناس برسول الله صلى الله عليه وسلم في عمه العباس، واتخذوه وسيلة الى الله، ادع يا عباس! فكان من دعائه رضي الله عنه: اللهم انه لم ينزل بلاء الا بذنب ولم يكشف الا بتوبة، وقد توجه القوم بي اليك لمكاني من نبيك، وهذه ايدينا اليك بالذنوب، ونواصينا اليك بالتوبة، فاسقنا الغيث واحفظ اللهم نبيك في عمه، فارخت السماء مثل الجبال حتى اخصبت الأرض وعاش الناس.
Teks hadits secara lengkap adalah sebagai berikut: dari Abdullah ibn Umar berkata: Umar ibn Khathab ditahun Rimadah (tidak ada hujan sehingga banyak debu) melakukan upacara sholat istisqo (minta hujan) bertawassul dengan Abbas ibn Abdul Mutholib. Umar berkhotbah: Hai orang orang, Rasulullah SAW memperlakukan Abbas seperti seorang anak terhadap orang tuanya, maka ikutilah,- hai orng orang – Rasululllah dalam memperlakukan pamanya, dan jadikanlah (pamanya) sebagai wasilah / perantara kepada Allah. Berdoalah hai Abbas!. Diantara doa Abbas adalah: Ya Allah, musibah tidak akan Engkau turunkan kecuali karena dosa, musibah tidak Engkau angkat kecuali dengan Taubat. Kaum ini menghadapEngkau dengan perantara aku, karena kedudukanku dimata Nabi Mu, inilah tangan tangan kami yang berlumuran dosa, dan inilah ubun ubun kami menghadap Engkau untuk bertaubat, maka turunkanlah hujan, dan jagalah Nabi Mu terhadap pamanya. Maka langitpun menggelantung awan untuk menurunkan hujan sehingga suburlah tanah dan manusia kembali bersemangat untuk hidup.

Begitulah para sahabat Nabi SAW memperlakukan Abbas paman Nabi sebagai orang yang mempunyai nilai lebih dibanding dengan yang lain, sehingga memperoleh keistimewaan dijadikan sebagai wasilah yang menghubungkan dengan Allah SWT. Ide pelaksanaan itu dari Umar Ibn Khothob yang dilakukan di hadapan mayoritas sahabat saat itu, dan tanpa mendapat sedikitpun protes maupun penolakan dari yang lain.

F. Tawassul dengan kubur Nabi SAW.

عَنْ أَبِي الجَوْزَاء أَوْسِ بْنِ عَبْدِ الله قَالَ: قَحَطَ أَهْلُ المَدِيْنَةِ قَحْطًا شَدِيْدًا، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ، فَقَالَتْ: انْظُرُوْا قَبْرَ النَّبِي صَلىَّ الله عليه وَسَلَّمَ، فَاجْعَلُوْا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتىَّ لاَ يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ، قَالَ: فَفَعَلُوْا فَمُطِرْنَا مَطَرًا حَتىَّ نَبَتَ العُشْبُ وَسَمِنَتْ الإِبِلُ، حَتىَ تَفَتَقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِيَ عَامُ الفَتَقِ.
رواه الدارمي في المقدمة حديث رقم: 92

Dari Abi al Jauza Aus ibn Abdillah bercerita: Penduduk Madinah dilanda kekeringan sangat parah, mereka mengadu kepada Aisyah (Isteri Rasulullah), maka saran beliau: lihatlah kuburan Rasulullah SAW dan jadikanlah (dalam doa kalian) sebagai kunci (tawassul) ke langit, sehingga antara kuburan dan langit tidak ada atap yang menghalangi. Abu al Jauza berkata: mereka melakukan saran tersebut, maka diturunkanlah hujan sampai rumput tumbuh, dan onta gemuk, sehingga penuh dengan lemak, akhirnya disebut tahun yang subur. (HR Dailami:92)

Demikianlah beberapa dasar yang digunakan legalisasi terhadap amaliyah tawassul, masih banyak dasar lain yang tidak mungkin kita sebutkan satu persatu didalam lembaran yang sangat terbatas ini, dan perlu diketahui bahwa ulama mengajarkan bertawassul bukan berarti menyuruh mereka mengkultuskan kuburan atau penghuni kubur yang telah menjadi bangkai dan hancur itu, namun kita dianjurkan bertawassul untuk memberi penghormatan dan pengakuan atas kedudukan dan kemuliaan seorang alim, mengenang jasa dan jihad mereka dalam menegakkan agama Allah.

Soal: Selain Tawassul tersebut diatas, bolehkah kita memohon kepada orang yang telah meninggal untuk mendoakan kita?
Jawab: Dalam tradisi kita sering melakukan tawassul dengan menjadikan seseorang yang punya nilai lebih tidak hanya sekedar sebagai wasilah seperti yang dijelaskan diatas, namun meminta kepadanya agar mendoakan kepada Allah SWT, mengingat dalam introsepeksi diri (muhasabah nafs) kita adalah manusia yang banyak dosa, berlipatkan kesalahan, tidak luput dari perbuatan maksiyat, maka menghadap kepada orang yang dianggap lebih bersih dari pribadi kita, orang yang lebih bertakwa, orang yang lebih dicintai oleh Allah (walaupun telah meninggal) agar memintakan kepada Allah apa yang kita inginkan.
Diantara saudara kita banyak yang berziyarah ke makam para wali, makam ulama dan kiyai, dalam berziyarah tersebut mereka meminta (berdo’a sambil bertawasssul) kepada para wali, ulama, dan kiyai yang telah meninggal tersebut untuk memohonkan kepada Allah atas hajat dan kebutuhan mereka. Dalam doanya mereka mengatakan: Ya Sunan Kalijaga aku menghadap kepadamu memohon engkau berkenan memintakan hajat dan kebutuhan saya kepada Allah, atau ungkapan doa: Romo kyai, kulo sowan nyuwun dumateng jenengan kersoho nyuwunaken dumateng Alloh supados kulo diparingi…….
Ini merupakan tawassul yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita, yang merasa dirinya berlumurkan dosa dan kesalahan sehingga tidak layak meminta langsung kepada Allah Yang Maha Suci, mereka bertawassul pada para wali, kiyai, atau ulama untuk dimintakan kepada Allah SWT.
Hal itu sebagaimana terjadi pada masa Kholifah Umar ibn Khathab ketika dilanda kekeringan yang berkepanjangan, yang menyebabkan kelaparan, paceklik, paila, atau sejenisnya dengan cerita:

عَنْ مَالِكٍ الدَّارِي قَالَ: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِِ الخَطَّابِ، فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِي صَلَّى الله عَليه وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْل الله، اِسْتَََسْقِ اللهَ ِلأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ، فَقَالَ: اِئْتِ عُمَرَ فَاقْرَئْهُ مِنّيِ السَّلاَمَ، وَاَخْبِرْهُمْ اَنَّهُمْ مُسْقُوْنَ، وَقُلْ لَهُ:عَلَيْكَ بِالكَيِّسِ الكَيِّسِ، فَأَتَى الرَّجُلُ فَأَخْبَرَ عُمَرَ، فَقَالَ: يَا رَبِّ، مَا آلوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ.
رواه البيهقي وابن ابي شيبة باسناد صحيح وقال ابن حجر في فتح الباري 2/415 اسناده صحيح.
Dari Malik al Dari berkata: pada masa Umar ibn Khathab terjadi kekeringan yang menyebabkan kelaparan, seseorang mendatangi kuburan Nabi SAW sambil berkata: Ya Rasulallah, mintakanlah hujan kepada Allah untuk kepentingan ummatmu, karena mereka telah hancur (karena kekeringan). Rasulullah SAW mendatanginya dalam mimpi dan mengatakan: datanglah kepada Umar, sampaikan salam dariku, dan sampaikan mereka akan diturunkan hujan, serta katakan kamu akan mendapat balasan pahalanya. Orang tersebut mendatangi dan mengabarkan pada Umar, beliau berkata: Ya Tuhanku, saya tidak akan berlebih lebihan kecuali sesuai kemampuanku. (HR Baihaqi dan ibnu Abi Syaibah serta Al Bukhori dalam kitab al Tarikh))

Kedatangan seorang sahabat Nabi yang bernama Bilal bin al Harits al Muzani ke kuburan Nabi SAW dan minta kepada Nabi untuk memohonkan kebutuhan umat kepada Allah, yang kemudian dalam cerita tersebut tidak mendapat tentangan dan larangan dari sahabat yang lain, hadits ini merupakan dasar dari tawassul minta didoakan oleh para wali atau kiyai yang telah meninggal.
Dengan demikian berarti segala jenis dan cara bertawassul yang sesuai dengan apa yang telah kami tulis diatas adalah sesuai dengan ajaran syariah Islam, bukan merupakan hal yang bid’ah apalagi syirik.

Dari penjelasan tersebut, dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bertawassul adalah berdo’a kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara / wasilah. Dan wasilah dalam doa ini bisa bermacam macam.
2. Doa dengan Tawassul ini tidak ada nilai tambah dibanding doa langsung kepada Allah SWT, namun untuk memperkuat keyakinan bahwa doa kita akan terkabulk an oleh Allah, karena banyak kita temukan dasar yang menyatakan diantaranya bila kita selesai mengkhatamkan Alqur’an maka doa saat itu akan terkabulkan. Sehingga kita dalam berdoa bertawassul dengan khatam Alqur’an untuk terkabulkan doanya
3. Bertawassul dengan Amal Saleh sendiri adalah sangat dianjurkan, mengingat hal itu diceritakan oleh Nabi SAW sebagai contoh bukti amal baik.
4. Sarana yang bisa digunakan Wasilah atau Tawassul adalah:
a. Orang yang mempunyai nilai lebih, mempunyai nilai tinggi disisi Allah, dalam keadaan hidup; seperti Nabi, Wali, Kyai, dan lain sebagainya.
b. Orang yang telah meninggal dunia namun disaat hidupnya dia mempunyai nilai lebih. Seperti jenazah para wali atau ulama dan lainya.
c. Barang peninggalan yang terkait langsung dengan pribadi yang punya nilai lebih tersebut. Seperti senjata peninggalan para wali, pakaian para Wali dan seterusnya.
d. Tempat yang pernah dipakai sosok tersebut diatas. Seperti petilasan Nabi SAW, Kuburan Nabi SAW, Kuburan Wali, tempat bertapa / semedi (goa Hiro’) dan lain sebagainya.
e. Secara teori, ada dasar bahwa sesuatu tersebut punya nilai lebih, seperti air Zam zam, Hajar Aswad, Multazam, Raudloh dan seterusnya.
f. Amal baik dari seseorang, terutama amal yang teristimewa baginya, sangat mendorong untuk terkabulkan doanya, karena diiringi perasaan yang mantap dalam berdoa akan terkabulkan doanya.
g. Keagungan, kehebatan atau keistimewaan orang lain, seperti tawassul dengan Ahli Badr, Tawassul dengan “Jah” Rasulullah.
5. Boleh meminta kepada orang yang telah meninggal dunia untuk memohonkan kepada Allah SWT atas hajatnya. Orang yang meninggal dunia mendengar salam kita, mengenal kita, bahkan mendengar ucapan kita (lihat pembahasan Ziyarah Kubur), mereka bila sebagai orang saleh, maka akan memohonkan kepada Allah SWT atas apa yang kita inginkan.
6. Sebagai manusia yang tak lepas dari dosa, berlumurkan dosa, penuh dengan khilaf, kiranya kurang layak bila meminta langsung kepada Sang Kholik, namun kita menjadikan orang yang saleh, yang bersih dari dosa, yang lebih taat dari kita unt7uk memintakan dan memohonkan hajat kita kepada Allah SWT.
7. Bertawassul merupakan ajang silaturrohim dari yang masih hidup dengan yang telah meninggal, bila yang meninggal itu punya nilai lebih dibanding yang masih hidup, maka kedatangan yang masih hidup merupakan sowan dan menghadap.


*A. Adib Masruhan, Staf pengajar di pondok
Pesantren Al-Maghfur, Mranggen Demak.