Selasa, 15 Desember 2009

tawassul

TAWASSUL, penyambung antara kita dengan Allah
Kajian untuk warga NU.
Oleh: A. Adib Masruhan

Tawassul dalam pengertian Agama adalah berdoa kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara sesuatu yang mempunyai nilai lebih. Tawassul berarti menjadikan sesuatu sebagai perantara dalam usahanya untuk memperoleh kedudukan yang tinggi disisi Allah SWT, atau untuk mewujudkan keinginan dan cita citanya. Berdoa dengan bertawassul maksudnya memohon kepada Allah dengan menyebutkan sesuatu yang dicintai dan diridloi-Nya.
Tawassul merupakan salah satu cara atau metode serta bentuk dalam memohon yang diarahkan dan dihadapkan kepada Allah SWT, dengan menggunakan “kelebihan” sesuatu dalam do’a tersebut. Sedang hakikat dalam berdo’a dengan bertawassul adalah menghadap yang sebenar benarnya kepada Allah SWT. Orang yang bertawassul itu sama dengan berdo’a dengan menggunakan media atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, kalau terjadi keyakinan selain ini (hanya sekedar media / wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah) maka orang yang berdoa telah melakukan Syirik.
Orang melakukan tawassul atau berperantara dengan seseorang karena dia mencintainya dan punya keyakinan bahwa Allah juga mencintai orang tersebut (seseorang yang menjadi perantara tersebut) karena juga sebagai orang yang Sholih. Namun bertawassul bukan merupakan keharusan dalam berdo’a, bukan merupakan syarat dalam berdo’a, bukan penyebab terkabulkan do’a, hanya sekedar menambah kemantapan (dalam perasaan) untuk terkabulkan doanya, sedangkan dalam berdo’a secara mutlak adalah permohonan yang tertuju khusus kepada Allah SWT.
Semua ulama sepakat bertawassul kepada Allah SWT dengan menggunakan amal Sholeh sendiri, sangat dianjurkan, seperti kita melakukan sholat, berpuasa, baca Alqur’an atau bersedekah kemudian berdo’a kepada Allah dan bertawassul dengan puasanya, sholatnya, sedekahnya atau bacaan Alqur’anya. Bertawassul seperti ini sangat diharapkan untuk bisa terkabulkan do’anya dan memperoleh yang diminta. Dasar dari ungkapan ini adalah hadits Nabi yang menceritakan tiga orang yang sedang berlindung didalam gua tapi guanya tertutup dengan batu, sehingga mereka tidak bisa keluar, mereka sepakat memohon kepada Allah sambil bertawassul dengan Amal shalih yang pernah mereka lakukan sebelumnya, yang satu bertawassul dengan perbuatan berbakti kepada kedua orang tuanya, yang satu lagi bertawassul dengan pernah menjauhi perbuatan dosa atau maksiyat dan yang terakhir bertawassul dengan pernah menanggung amanat orang lain tanpa pamrih sedikitpun. Hadits secara lengkap adalah sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما عن النَبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: خَرَجَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَمْشُوْنَ، فَأَصَابَهُمْ المَطَرُ، فَدَخَلُوْا فِِي غَارٍ فِي جَبَلٍ، فَانْحَطَتْ عَلَيْهِِمْ صَخْرَةٌ، قَالَ: فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: ادْعُوا اللهَ بِأَفْضَلَ عَمَلٍ عَمِلْتُمُوهُ، فَقَالَ أَحَدُهُمْ: اَللهُمَّ إِنِّي كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ، فَكُنْتُ أَخْرُجُ فَأَرْعَى، ثُمَّ أَجِيْءُ فَأَحْلِبُ، فَأَجِيْءُ بِالحِلاَبِ، فَآتِي بِهِ أَبَوَيَّ فَيَشْرَبَانِ، ثُمَّ أَسْقِي الصِبْيَةَ وَأَهْلِي وَامْرَأَتِي، فَاحْتُبِسْتُ لَيْلَةً فَجِئْتُ فَإِذاً هُمَا نَائِمَانِ، قَالَ: فَكَرِهْتُ أَنْ أُوْقِظَهُمَا، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغُوْنَ عِنْدَ رِجْلِي، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبُهُمَا حَتَى طَلَعَ الفَجْرُ، اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَمَاءَ، قَالَ: فَفُرِجَ عَنْهُمْ، وَقَالَ الآخَرُ: اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي كُنْتُ أُحِبُّ امْرَأةً مِنْ بَنَاتِ عَمّي، كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرَّجُلُ النِّسَاءَ، فَقَالَتْ: لاَ تَنَالُ ذَلِكَ مِنْهَا، حَتَى تُعْطِيَهَا مِائَةَ دِيْنَارٍ، فَسَعَيْتُ فِيْهَا حَتَى جَمَعْتُهَا، فَلَمَا قَعَدْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا، قَالَتْ: اِتَّقِ اللهَ، وَلاَ تَفُض الخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ، فِقُمْتُ وَتَرَكْتُهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً، قَالَ: فَفُرِجَ عَنْهُمْ الثُلُثَيْنِ، وَقَالَ الآخَرُ: اللهُمَّ إِنُ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي اسْتَأْجَرْتُ أَجِيْراَ بِفِرَقٍ مِنْ ذُرَّةٍ، فَأَعْطَيْتُهُ وَأَبَى ذَاكَ أَنْ يَأْخُذَ، فَعَمِدْتُ إِلَى ذَلِكَ الفِرَقِ فَزَرَعْتُهُ حَتَى اشْتَرَيْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرَاعِيْهَا، ثُمَّ جَاءَ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ الله أَعْطِنِي حَقِّي، فَقُلْتُ اِنْطَلِقْ إِلَى تِلْكَ البَقَرِ وَرَاعِيْهَا، فَإِنَّهَا لَكَ، فَقَالَ: أَتَسْتَهْزِئُ بِي؟ قَالَ: فَقُلْتُ: مَا أَسْتَهَزِئُ بِكَ وَلَكِنّهَا لَكَ، اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا، فَكُشِفَ عَنْهُمْ.
روواه البخاري في كتاب البيوع حديث رقم: 603
Dari Ibn Umar RA dari Nabi SAW berkata: ada tiga oranng sedang melakukan perjalanan, kemudian datang hujan, mereka berteduh di dalam gua disebuah gunung, dan runtuhlah sebuah batu besar menutup (pintu) gua tersebut ,-Nabi bercerita- maka sebagian dari mereka mengatakan: Berdoalah kalian dengan bertawassul / berperantara amal terbaik kalian, maka berdoalah seseorang dari mereka: Allahumma, saya mempunyai dua orang tua yang telah renta, pekerjaan saya menggembala (disiang hari), pulang dan merah susu untuk mereka, aku bawakan susu kepada mereka untuk diminum, kemudian untuk anak anak dan isteriku. Suatu malam aku terlambat pulang dan mereka telah tidur, -Nabi SAW bercerita- saya tidak berani membengunkan mereka, anak anaku di kakiku iri dengan mereka, begitu itu sampai fajar menyingsing. Ya Allah, Engkau tahu bahwa itu aku lakukan untuk mencari ridlo-Mu, maka bukakan batu ini sehingga kami melihat langit. -Nabi SAW bercerita- maka dibukakanlah batu tersebut sedikit. Yang lain berdoa: Ya Allah, Engkau tahu aku mencinta seorang perempuan dari sepupuku, seperti orang sedang dimabuk cinta pada wanita, dia mengatakan: kamu tidak akan mendapatkan tubuhku kecuali memberi uang seratus dinar. Aku usahakan untuk mengumpulkanya, sampai kuperolehnya, dan disaat aku sudah duduk diantara kedua pahanya, dia berkata: Takutlah kamu kepada Allah, Jangan lah kamu lobangi cincin itu kecuali dengan hak haknya. Aku berdiri dan meninggalkanya.Ya Allah, Kamu tahu aku melakukan itu karena mencari ridlo-Mu, maka bukakanlah batu ini. Maka terbukalah batu tersebut dua pertiga. Dan yang lain berdoa: Ya Allah, Engkau tahu aku mempekerjakan seorang dengan bayaran segantang jagung, pada waktu aku berikan upah kerjanya dia menolak dan pergi. Kemudian aku tanam jagung tersebut dan berkembang sampai bisa untuk membeli sapi dan kandangnya. Beberapa tahun kemudian dia datang sambil berkata: Hai Abdullah, berikan hak saya yang dulu, aku jawab: ambillah sapi itu, dia berkata: jangan mengejekku, -Nabi bercerita-: aku menjawab: bukan aku mengejekmu, tapi itu milikmu. Ya Allah, ku lakukan itu karena mencari ridlo-Mu, maka bukakanlah batu itu. Dan terbukalah batu tersebut. (HR Bukhori:603)

Namun yang menjadi permasalahan disini adalah bertawassul bukan dengan amal shalih sendiri, tapi menggunakan keberadaan atau kepribadian orang lain, atau bertawassul dengan para Nabi, dengan para Wali Allah, dengan orang Shalih dan lain sebagainya seperti;
Ya Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan keagungan Nabi-Mu Muhammad SAW,
Ya Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan Shahabat Nabi-Mu Abu Bakar Shidiq,
Ya Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan Kekasih-Mu Wali-Mu Syekh Abdul Qodir Jaelani,
Ya Allah selamatkan umat ini dengan Ahli perang Badar dan seterusnya, tawassul semacam ini dikatakan oleh sebagian orang sebagai hal terlarang, yang bid’ah dan yang melakukanya menjadi musyrik.
Kalau kita perhatikan sejenak, bertawassul dengan keberadaan orang lain tersebut hakikatnya kita bertawassul dengan amal kita sendiri, kita punya keyakinan bahwa seseoramg yang kita hormati dan kita cintai adalah orang yang dicintai oleh Allah SWT, karena beliau adalah orang yang berjihad menegakkan agama Allah, Rasa cinta kita kepada orang tersebut merupakan amal kita, dalam berdo’a dan bertawassul tersebut seperti kita mengatakan: “Ya Allah, saya mencintai dia, dia telah mencintai-Mu, dia secara ikhlas berjuang menegakkan agama-Mu, dan saya percaya Engkau mencintainya, Engkau ridlo atas perbuatanya, maka dengan ini aku bertawassul / berperantara dengan cintaku padanya dan dengan keyakinanku bahwa Engkau mencintainya agar Engkau memberiku ………”. Ungkapan ini dengan ungkapan diatas tadi adalah sama, sehingga tidak ada larangan dari siapapun dalam melaksanakan do’a dengan tawassul seperti contoh contoh diatas.
Bahkan bertawassul merupakan ajaran yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan, dan adakalanya menyampaikan dalam sebuah cerita yang menjadi teladan atau beliau sendiri juga melakukan. Beberapa dalil hadits berikut sebagai contoh tawassul:

A. Nabi Adam bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW.

عَنْ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رضي الله عنه قال: قال رسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: "لَمَا اقْتَرَفَ آدَمُ الخَطِيْئَةَ، قَالَ: يَا رَبِّ ! أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي، فَقَالَ الله: يَا آدَمُ ! كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ! ِلأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيَدِكَ، وَنَفَخْتَ فِيّ مِنْ رُوْحِكَ، رَفَعَََََََََََََََْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُوْبًا: لااِلَهَ الا الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله، فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ اِلَى اسْمِكَ إِلاَ اَحَبَّ الخَلْقِ اِلَيْكَ، فَقَالَ الله: صَدَقْتَ يَا آدَمُ، إِنَّهُ لأَحَبُّ الخَلْقِ اِلَيَّ، ادْعُنِي بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ، وَلََََََوْلا مُحَمَدٌ مًا خَلَقْتُكَ "
أخرجه الحاكم في المستدرك وصححه 2/615
Dari Umar ibn Khathab RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: ketika Adam melakukan kesalahan, berdoa: Ya Tuhanku, saya memohon dengan keberadaan Muhammad, agar Engkau mengampuniku. Allah bertanya: Hai Adam, Bagaimana kamu mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya ? Jawab Adam: Ya Tuhanku, sewaktu Engkau menciptakanku, dan meniupkan Ruh kepadaku, aku mengangkat kepalaku dan kulihat tulisan di tiang Aresy : Lailaha illa Allah, Muhammad Rasulullah, dari situ aku ngerti bahwasanya Engkau tidak menyandingkan ke Asma Mu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai. Allah berfirman: Kamu benar hai Adam, dia adalah makhluk yang paling aku cintai, berdoalah dengan (bertawassul) keberadaanya maka Aku ampuni kamu, seandainya tidak ada Muhammad aku tidak menciptakanmu.” (HR Al Hakim 2\615)

Dalam hadits ini diceritakan oleh Rasulullah SAW bahwa Nabi Adam bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW, maka ada kesimpulan yang bisa dipetik sebagai berikut:
1. Nabi Adam bertawassul dengan makhluk yang belum diciptakan (Muhammad), berarti boleh melakukan tawassul dengan orang yang tidak atau belum hidup.
2. Boleh bertawassul dengan keberadaan orang, bukan hanya dengan amal shalih.
3. Bertawassul dengan orang yang mempunyai nilai tinggi disisi Allah.

B. Orang Yahudi bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW.

وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلىَ الذِيْنَ كََفَرُوْا، فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهِ فَلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الكَافِرِيْنَ {البقرة 89 }
“Dan setelah datang kepada mereka Alqur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka memohon (dengan bertawassul kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah lah atas orang kafir”. (QS 2:89)

Dalam ayat ini Allah menceritakan ulah kaum Yahudi yang mengingkari kedatangan seorang Nabi yang mereka tunggu dengan membawa Kitab yang membenarkan / meluruskan kitab milik mereka, dimana sebelumnya mereka selalu bertawassul / berperantara dengan Nabi yang akan datang memohon kepada Allah untuk diberi kemenangan dalam setiap berperang melawan orang orang kafir.

C. Tawassul dengan Nabi SAW semasa hidupnya.

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حَنِيْفٍ، أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ البَصَرِ أَتَى النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: ادْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيَنِي، قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ، قَالَ: فَادْعُهُ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهُ، وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ، اللهُمَّ إِنِي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ، لِتَقْضِىَ لِي، اللهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ.
رواه الترمذي في كتاب الدعوات حديث رقم: 16604 قَال الترمذي: حديث حسن صحيح
Dari Utsman ibn Hanif, bahwasanya ada seorang lelaki buta menghadap Nabi SAW seraya berkata: Doakanlah kepada Allah agar menyembuhkan kebutaanku. Nabi berkata: kalau memang kamu mau akan aku doakan, dan kalau kamu bersabar akan lebih baik bagimu. Orang tersebut berkata: doakanlah. Nabi memerintahkan agar mengambil air wudlu dengan sempurna, kemudian meminta kepada Allah dengan doa seperti ini: Ya Allah, saya memohon dan menghadap kepada Mu dengan perantara Nabi Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat, saya menghadap denganmu (Muhammad) kepada Tuhanku dalam urusanku agar dikabulkan untukku, Ya Allah kabulkanlah untukku. (HR Tirmidzi 16604, haditsnya Hasan Shahih)

Dalam hadits riwayat Tirmidzi ini, Nabi mengajarkan bagaimana sebaiknya tawassul itu dilakukan, diajarkan agar melakukan tawassul dengan dirinya, tapi doa tetap tertuju kepada Allah SWT. Berdoa memang bisa langsung kepada Allah, bisa minta kepada orang yang lebih shalih untuk mendoakan untuknya, tapi juga bisa dilakukan sendiri dan bertawassul dengan Nabi seperti cerita kedatangan orang tersebut kepada Nabi agar beliau berkenan mendoakan dan menjadi perantara / wasilah, atau juga do’a bisa dilakukan dengan tanpa tawassul, tapi bertawassul lebih baik bagi yang berdo’a seperti yang diajarkan oleh beliau.

D. Tawassul dengan barang bekas dari Nabi SAW.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ خَاتَمُ النَبِي صلى الله عليه وسلم فِي يَدِهِ، وَفِي يَدِ أَبِي بَكْرٍ بَعْدَهُ، وَفِي يَدِ عُمَرَ بَعْدَ أَبِي بَكْرٍ، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ جَلَسَ عَلَى بِئْرِ أَرِيْسَ، قَالَ: فَأَخْرَجَ الخَاتَمَ، فَجَعَلَ يَعْبَثُ بِهِ فَسَقَطَ، قَالَ: فَاخْتَلَفْنَا ثَلاَثَةَ أَيَامٍ مَعَ عُثْمَانَ، فَنُزِحَ البِئْرُ، فَلَمْ يَجِدْهُ.
رواه البخاري في كتاب اللباس حديث رقم: 5429
Dari Anas berkata: Cincin Nabi SAW dulu berada di tangan beliau, setelah itu berada pada tangan Abu Bakar, terus berada pada tangan Umar setelah Abu Bakar, pada masa Utsman sewaktu beliau duduk dipinggir sumur Aris – Anas bercerita – beliau melepas cincin tersebut, namun cincin tersebut terlepas dan masuk kedalam sumur, selama tiga hari kami mencari dengan Utsman, sampai sumur dikuras cincin tersebut tidak ditemukan. (HR Bukhori:5429)

Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa barang bekas pakai oleh Nabi SAW bisa dibuat tawassul, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka memakai cincin Nabi SAW untuk apa kalau bukan untuk bertawassul disetiap langkah dan setiap aktivitas agar memperoleh perlindungan Allah SWT, lebih jelasnya kita lihat hadits
(باب مَا أَكْرَمَ اللَّهُ تَعَالَى نَبِيَّهُ بَعْدَ مَوْتِهِ)
berikut ini:

عن عبدالله عَنْ أَسْمَاءَ فَقَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَخْرَجَتْ إِلَىَّ جُبَّةَ طَيَالَسَةٍ كِسْرَوَانِيَّةً لَهَا لِبْنَةُ دِيبَاجٍ وَفَرْجَيْهَا مَكْفُوفَيْنِ بِالدِّيبَاجِ فَقَالَتْ هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا وَكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَلْبَسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا.
صحيح مسلم - (ج 14 / ص 23

Dari Abdullah berkata: Asma menunjukkan jubbah lorek lorek yang sakunya terbuat dari sutera tebal yang biasa diperuntukkan para raja Kisra (Persia), dengan model terbelah depanya, Asma mengatakan: ini Jubbah Rasulullah SAW yang biasa dipakainya, dulu ada pada Aisyah, namun setelah Aisyah wafat aku pegang untukku, dan kami mencucinya kalau ada orang sakit untuk pengobatan agar sembuh. (HR Muslim 14:23)

Beberapa sahabat Nabi bertawassul dengan jubbah beliau dalam urusan pengobatan untuk setiap orang yang sakit, hal itu dikatakan dengan kata “Nahnu” yang artinya kami, membuktikan bahwa dalam kepercayaan para sahabat terhadap barang barang yang ditinggalkan oleh Nabi SAW adalah mempunyai nilai lebih dibandingkan barang biasa yang juga bisa digunakan tawassul, selain jubbah dan cincin tersebut masih ada juga mereka berebut rambut Nabi, helai perhelai disimpannya, bahkan air bekas wudlu beliaupun diperebutkan disaat beliau masih hidup tanpa ada larangan dari beliau.

E. Tawassul dengan orang yang punya nilai lebih.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَابِ رضي الله عنه كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقَى بِالعَبَاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ: اللهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا، قَالَ: فَيُسْقَوْنَ.
رواه البخاري في كتاب الجمعة حديث رقم: 954
Dari Anas ibn Malik bahwasanya Umar ibn Khathab apabila mengalami paceklik (kekeringan) meminta hujan kepada Allah sambil bertawassul dengan Abbas ibn Abdul Muthalib, beliau berdoa: Ya Allah, dulu kami meminta kepada Mu sambil bertawassul dengan Nabi Mu, tapi kini kami memohon kepada Mu sambil bertawassul dengan paman Nabu Mu, maka turunkanlah hujan. Anas berkata: maka turunlah hujan. (HR Bukhari:954)

ولفظ الحديث كاملا: عن عبد الله بن عمر قال: استسقى عمر بن الخطاب – عام الرمادة – بالعباس بن عبد المطلب فخطب الناس فقال: يا أيها الناس ! إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يرى للعباس ما يرى الولد للوالد، فاقتدوا أيها الناس برسول الله صلى الله عليه وسلم في عمه العباس، واتخذوه وسيلة الى الله، ادع يا عباس! فكان من دعائه رضي الله عنه: اللهم انه لم ينزل بلاء الا بذنب ولم يكشف الا بتوبة، وقد توجه القوم بي اليك لمكاني من نبيك، وهذه ايدينا اليك بالذنوب، ونواصينا اليك بالتوبة، فاسقنا الغيث واحفظ اللهم نبيك في عمه، فارخت السماء مثل الجبال حتى اخصبت الأرض وعاش الناس.
Teks hadits secara lengkap adalah sebagai berikut: dari Abdullah ibn Umar berkata: Umar ibn Khathab ditahun Rimadah (tidak ada hujan sehingga banyak debu) melakukan upacara sholat istisqo (minta hujan) bertawassul dengan Abbas ibn Abdul Mutholib. Umar berkhotbah: Hai orang orang, Rasulullah SAW memperlakukan Abbas seperti seorang anak terhadap orang tuanya, maka ikutilah,- hai orng orang – Rasululllah dalam memperlakukan pamanya, dan jadikanlah (pamanya) sebagai wasilah / perantara kepada Allah. Berdoalah hai Abbas!. Diantara doa Abbas adalah: Ya Allah, musibah tidak akan Engkau turunkan kecuali karena dosa, musibah tidak Engkau angkat kecuali dengan Taubat. Kaum ini menghadapEngkau dengan perantara aku, karena kedudukanku dimata Nabi Mu, inilah tangan tangan kami yang berlumuran dosa, dan inilah ubun ubun kami menghadap Engkau untuk bertaubat, maka turunkanlah hujan, dan jagalah Nabi Mu terhadap pamanya. Maka langitpun menggelantung awan untuk menurunkan hujan sehingga suburlah tanah dan manusia kembali bersemangat untuk hidup.

Begitulah para sahabat Nabi SAW memperlakukan Abbas paman Nabi sebagai orang yang mempunyai nilai lebih dibanding dengan yang lain, sehingga memperoleh keistimewaan dijadikan sebagai wasilah yang menghubungkan dengan Allah SWT. Ide pelaksanaan itu dari Umar Ibn Khothob yang dilakukan di hadapan mayoritas sahabat saat itu, dan tanpa mendapat sedikitpun protes maupun penolakan dari yang lain.

F. Tawassul dengan kubur Nabi SAW.

عَنْ أَبِي الجَوْزَاء أَوْسِ بْنِ عَبْدِ الله قَالَ: قَحَطَ أَهْلُ المَدِيْنَةِ قَحْطًا شَدِيْدًا، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ، فَقَالَتْ: انْظُرُوْا قَبْرَ النَّبِي صَلىَّ الله عليه وَسَلَّمَ، فَاجْعَلُوْا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتىَّ لاَ يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ، قَالَ: فَفَعَلُوْا فَمُطِرْنَا مَطَرًا حَتىَّ نَبَتَ العُشْبُ وَسَمِنَتْ الإِبِلُ، حَتىَ تَفَتَقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِيَ عَامُ الفَتَقِ.
رواه الدارمي في المقدمة حديث رقم: 92

Dari Abi al Jauza Aus ibn Abdillah bercerita: Penduduk Madinah dilanda kekeringan sangat parah, mereka mengadu kepada Aisyah (Isteri Rasulullah), maka saran beliau: lihatlah kuburan Rasulullah SAW dan jadikanlah (dalam doa kalian) sebagai kunci (tawassul) ke langit, sehingga antara kuburan dan langit tidak ada atap yang menghalangi. Abu al Jauza berkata: mereka melakukan saran tersebut, maka diturunkanlah hujan sampai rumput tumbuh, dan onta gemuk, sehingga penuh dengan lemak, akhirnya disebut tahun yang subur. (HR Dailami:92)

Demikianlah beberapa dasar yang digunakan legalisasi terhadap amaliyah tawassul, masih banyak dasar lain yang tidak mungkin kita sebutkan satu persatu didalam lembaran yang sangat terbatas ini, dan perlu diketahui bahwa ulama mengajarkan bertawassul bukan berarti menyuruh mereka mengkultuskan kuburan atau penghuni kubur yang telah menjadi bangkai dan hancur itu, namun kita dianjurkan bertawassul untuk memberi penghormatan dan pengakuan atas kedudukan dan kemuliaan seorang alim, mengenang jasa dan jihad mereka dalam menegakkan agama Allah.

Soal: Selain Tawassul tersebut diatas, bolehkah kita memohon kepada orang yang telah meninggal untuk mendoakan kita?
Jawab: Dalam tradisi kita sering melakukan tawassul dengan menjadikan seseorang yang punya nilai lebih tidak hanya sekedar sebagai wasilah seperti yang dijelaskan diatas, namun meminta kepadanya agar mendoakan kepada Allah SWT, mengingat dalam introsepeksi diri (muhasabah nafs) kita adalah manusia yang banyak dosa, berlipatkan kesalahan, tidak luput dari perbuatan maksiyat, maka menghadap kepada orang yang dianggap lebih bersih dari pribadi kita, orang yang lebih bertakwa, orang yang lebih dicintai oleh Allah (walaupun telah meninggal) agar memintakan kepada Allah apa yang kita inginkan.
Diantara saudara kita banyak yang berziyarah ke makam para wali, makam ulama dan kiyai, dalam berziyarah tersebut mereka meminta (berdo’a sambil bertawasssul) kepada para wali, ulama, dan kiyai yang telah meninggal tersebut untuk memohonkan kepada Allah atas hajat dan kebutuhan mereka. Dalam doanya mereka mengatakan: Ya Sunan Kalijaga aku menghadap kepadamu memohon engkau berkenan memintakan hajat dan kebutuhan saya kepada Allah, atau ungkapan doa: Romo kyai, kulo sowan nyuwun dumateng jenengan kersoho nyuwunaken dumateng Alloh supados kulo diparingi…….
Ini merupakan tawassul yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita, yang merasa dirinya berlumurkan dosa dan kesalahan sehingga tidak layak meminta langsung kepada Allah Yang Maha Suci, mereka bertawassul pada para wali, kiyai, atau ulama untuk dimintakan kepada Allah SWT.
Hal itu sebagaimana terjadi pada masa Kholifah Umar ibn Khathab ketika dilanda kekeringan yang berkepanjangan, yang menyebabkan kelaparan, paceklik, paila, atau sejenisnya dengan cerita:

عَنْ مَالِكٍ الدَّارِي قَالَ: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِِ الخَطَّابِ، فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِي صَلَّى الله عَليه وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْل الله، اِسْتَََسْقِ اللهَ ِلأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ، فَقَالَ: اِئْتِ عُمَرَ فَاقْرَئْهُ مِنّيِ السَّلاَمَ، وَاَخْبِرْهُمْ اَنَّهُمْ مُسْقُوْنَ، وَقُلْ لَهُ:عَلَيْكَ بِالكَيِّسِ الكَيِّسِ، فَأَتَى الرَّجُلُ فَأَخْبَرَ عُمَرَ، فَقَالَ: يَا رَبِّ، مَا آلوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ.
رواه البيهقي وابن ابي شيبة باسناد صحيح وقال ابن حجر في فتح الباري 2/415 اسناده صحيح.
Dari Malik al Dari berkata: pada masa Umar ibn Khathab terjadi kekeringan yang menyebabkan kelaparan, seseorang mendatangi kuburan Nabi SAW sambil berkata: Ya Rasulallah, mintakanlah hujan kepada Allah untuk kepentingan ummatmu, karena mereka telah hancur (karena kekeringan). Rasulullah SAW mendatanginya dalam mimpi dan mengatakan: datanglah kepada Umar, sampaikan salam dariku, dan sampaikan mereka akan diturunkan hujan, serta katakan kamu akan mendapat balasan pahalanya. Orang tersebut mendatangi dan mengabarkan pada Umar, beliau berkata: Ya Tuhanku, saya tidak akan berlebih lebihan kecuali sesuai kemampuanku. (HR Baihaqi dan ibnu Abi Syaibah serta Al Bukhori dalam kitab al Tarikh))

Kedatangan seorang sahabat Nabi yang bernama Bilal bin al Harits al Muzani ke kuburan Nabi SAW dan minta kepada Nabi untuk memohonkan kebutuhan umat kepada Allah, yang kemudian dalam cerita tersebut tidak mendapat tentangan dan larangan dari sahabat yang lain, hadits ini merupakan dasar dari tawassul minta didoakan oleh para wali atau kiyai yang telah meninggal.
Dengan demikian berarti segala jenis dan cara bertawassul yang sesuai dengan apa yang telah kami tulis diatas adalah sesuai dengan ajaran syariah Islam, bukan merupakan hal yang bid’ah apalagi syirik.

Dari penjelasan tersebut, dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bertawassul adalah berdo’a kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara / wasilah. Dan wasilah dalam doa ini bisa bermacam macam.
2. Doa dengan Tawassul ini tidak ada nilai tambah dibanding doa langsung kepada Allah SWT, namun untuk memperkuat keyakinan bahwa doa kita akan terkabulk an oleh Allah, karena banyak kita temukan dasar yang menyatakan diantaranya bila kita selesai mengkhatamkan Alqur’an maka doa saat itu akan terkabulkan. Sehingga kita dalam berdoa bertawassul dengan khatam Alqur’an untuk terkabulkan doanya
3. Bertawassul dengan Amal Saleh sendiri adalah sangat dianjurkan, mengingat hal itu diceritakan oleh Nabi SAW sebagai contoh bukti amal baik.
4. Sarana yang bisa digunakan Wasilah atau Tawassul adalah:
a. Orang yang mempunyai nilai lebih, mempunyai nilai tinggi disisi Allah, dalam keadaan hidup; seperti Nabi, Wali, Kyai, dan lain sebagainya.
b. Orang yang telah meninggal dunia namun disaat hidupnya dia mempunyai nilai lebih. Seperti jenazah para wali atau ulama dan lainya.
c. Barang peninggalan yang terkait langsung dengan pribadi yang punya nilai lebih tersebut. Seperti senjata peninggalan para wali, pakaian para Wali dan seterusnya.
d. Tempat yang pernah dipakai sosok tersebut diatas. Seperti petilasan Nabi SAW, Kuburan Nabi SAW, Kuburan Wali, tempat bertapa / semedi (goa Hiro’) dan lain sebagainya.
e. Secara teori, ada dasar bahwa sesuatu tersebut punya nilai lebih, seperti air Zam zam, Hajar Aswad, Multazam, Raudloh dan seterusnya.
f. Amal baik dari seseorang, terutama amal yang teristimewa baginya, sangat mendorong untuk terkabulkan doanya, karena diiringi perasaan yang mantap dalam berdoa akan terkabulkan doanya.
g. Keagungan, kehebatan atau keistimewaan orang lain, seperti tawassul dengan Ahli Badr, Tawassul dengan “Jah” Rasulullah.
5. Boleh meminta kepada orang yang telah meninggal dunia untuk memohonkan kepada Allah SWT atas hajatnya. Orang yang meninggal dunia mendengar salam kita, mengenal kita, bahkan mendengar ucapan kita (lihat pembahasan Ziyarah Kubur), mereka bila sebagai orang saleh, maka akan memohonkan kepada Allah SWT atas apa yang kita inginkan.
6. Sebagai manusia yang tak lepas dari dosa, berlumurkan dosa, penuh dengan khilaf, kiranya kurang layak bila meminta langsung kepada Sang Kholik, namun kita menjadikan orang yang saleh, yang bersih dari dosa, yang lebih taat dari kita unt7uk memintakan dan memohonkan hajat kita kepada Allah SWT.
7. Bertawassul merupakan ajang silaturrohim dari yang masih hidup dengan yang telah meninggal, bila yang meninggal itu punya nilai lebih dibanding yang masih hidup, maka kedatangan yang masih hidup merupakan sowan dan menghadap.


*A. Adib Masruhan, Staf pengajar di pondok
Pesantren Al-Maghfur, Mranggen Demak.

Selasa, 03 November 2009

wisata spiritual (4)

ZIYARAH KUBUR sebagai wisata spiritual (4)

Oleh: A.Adib Masruhan

Ada sebuah hadits yang sering digunakan oleh sebagian umat untuk melarang bepergian atau melakukan ziyarah kubur atau lainya, hadits tersebut berbunyi

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :لاتشد الرحال الا الى ثلاثة مساجد: المسجد الحرام، ومسجد الرسول صلى الله عليه وسلم، ومسجد الأقصى [1]

رواه البخاري في كتاب الجمعة 1115

“Dari Abi Hurairoh berkata, bersabda Rasulullah SAW : tidak diikat pelana unta (jangan bepergian) kecuali ke tiga masjid; masjidil haram (di Makkah), masjid Rasulullah SAW (di Madinah) dan Masjid Aqso (di Palestina).

Menanggapi hadits diatas adalah sebagaimana penjesan berikut:

Hadits ini menunjukkan bahwa seluruh masjid didunia adalah fadlilahnya sama, tiada beda, kecuali tiga masjid tersebut yang punya nilai beda, sholat di masjidil Haram dilipatkan pahalanya mencapai 100.000 kali, di Masjid Nabawi mencapai 1.000 kali dan diMasjidil Aqso mencapai 500 kali disbanding solat diselain masjid tersebut. Sehingga kita solat di Masjid Istiqlal, maupun Masjid Demak, Masjid Ampel, atau masjid manapun nilainya adalah tetap sama.

Tetapi hadits tersebut tidak bisa untuk melarang kita pergi berziyarah kekubur Nabi SAW di Madinah misalnya, atau kubur sunan kalijaga di Demak, karena dalam hadits tersebut tidak ada kata larangan yang menunjukkan itu, yang dilarang hanya kalau ada masjid didekatnya kenapa harus sholat dimasjid yang jauh.

Selain itu terbukti bahwa Nabi SAW sendiri juga bepergian utuk ziyarah ke berbagai makam yang jauh, seperti makam syuhada Uhud (7 km dari kediaman Nabi) dan makam ibunda Siti Aminah di Abwa.

Bila kita mengantarkan jenazah ada tiga macam hal yang kita lakukan, hal ini sebagaimana kita nukilkan dari kitab Almughni karya Al Imam Ibn Qudamah sebagai berikut:

قال البراء: أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم باتباع الجنائز، وهو على ثلاثة أضرب،

أحدها: أن يصلي عليها ثم ينصرف، قال زيد بن ثابت: إذا صليت فقد قضيت الذي عليك.

الثاني: أن يتبعها إلى القبر ثم يقف حتى تدفن، لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم: من شهد الجنازة حتى يصلي فله قيراط، ومن شهدها حتى تدفن كان له قيراطان، قيل وما القيراطان قال مثل الجبلين العظيمين. (متفق عليه)

الثالث أن يقف بعد الدفن فيستغفر له ويسأل الله له التثبيت ويدعو له بالرحمة. فإنه روي عن النبي صلى الله عليه وسلم، أنه كان إذا دفن ميتا وقف، وقال: استغفروا له واسألوا الله له التثبيت، فإنه الآن يسأل. رواه أبو داود

وقد روي عن ابن عمر أنه كان يقرأ عنده بعد الدفن أول البقرة وخاتمتها

المغني ج: 2 ص: 174

“Berkata Al Barra’: Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk mengiring jenazah dalam tiga bentuk;

Pertama, untuk mensholatinya, kemudian pergi. Zaid ibn Tsabit berkata: bila engkau telah mensholati maka hutang telah terbalas.

Kedua, untuk mengiringnya sampai kekuburan, hingga terkuburkan, hadits Rasulullah SAW berbunyi: barang siapa menyaksikan jenazah hingga mensholatinya maka dia memperoleh pahala satu qirot, dan siapa mengiringnya sampai terkuburkan maka dia memperoleh dua qirot, ditanyakan apa itu dua qirot? Dijawab: pahala seperti dua gunung yang besar. (hadits Muttafaq Alaih).

Ketiga, setelah dikuburkan, berdiri memohonkan ampun untuk mayyit, ketabahan dalam menjawab soal malaikat, dan memohonkan rahmat Allah. Karena hadits Nabi SAW menyatakan: bila beliau selesaimemakamkan mayyit, berdiri seraya berkata: mohonkan ampunan untuk mayyit dan mintakan kepada Allah agar dia tabah, karena sekarang dia sedang ditanya malaikat.

Abu Dawud meriwayatkan bahwa Abdullah Ibn Umar (ibn Khotob) setelah pemakaman membaca awal dan penutup surat Al Baqoroh” (Al Mughni 2:174)

Selain hal hal yang telah tersebut diatas, ada beberapa manfaat ziyarah kubur diantaranya

1. Mengingatkan kepada orang yang berziyarah terhadap kematian, dengan ziyarah kubur kita dihadapkan kenyataan bahwa kita juga akan mati seperti mereka, ditaruh didalam tanah dengan kondisi yang gelap, sendirian tiada yang menemani, tidur tanpa kasur dan bantal dan lain sebagainya.

2. Dengan ziyarah kubur kita membahagiakan kepada orang orang yang kita ziyarahi, dengan mendoakan, memohonkan ampun mereka, salam kepada mereka, hal itu juga berkenan kepada semua ahli kubur dimana kita datang untuk berziyarah.

3. Silaturrohmi antara yang masih hidup dengan yang telah meninggal, karena hakikat silaturrahmi tidak terbatas disaat kita masih hidup, juga pihak yang meninggal pun mengenal siapa yang datang menziyarahi.

4. Ziyarah kubur punya dampak positif baik bagi yang masih hidup maupun yang telah mati, bagi yang hidup maka bisa menjadi pengingat kematian dan bagi yang mati bisa mendapatkan pahala maupun ampunan.

5. Dengan ziyarah kubur kita bisa menambah kekhusyu’an hati kita dan mengingatkan kita terhadap keluarga dan kerabat yang telah meninggal dunia.

6. Dengan ziyarah kita bisa menjadi zuhud / menjauhi duniawi, lebih memperbanyak ukhrowi.

7. Dengan ziyarah kubur kita bisa memperoleh keteladanan dari yang meninggal, bila dia adalah orang baik maka kita tiru kebaikannya, dan bila dia orang yang berkelekuan kurang baik maka kita hindari prilaku itu.

8. Kita bisa berwisata dengan wisata ziyarah atau wisata spiritual, sehingga sejenak melupakan kesibiukan duniawi, mencoba berfikir masa depan ukhrowi.

9. Ziayarah kubur merupakan penghormatan terhadap yang telahmeninggal dunia, bila yang meninggal dan diziyarahi adalah ulama atau Aulia bahkan Nabi adalah merupaka penghormatan dari seorang mukmin terhadap para tokoh nya. Dan bila yang diziyarahi adalah mukmin biasa maka dengan kita ziyarahi yang meninggal merasa dihormati sebagaimana kita dikunjungi oleh teman, dan itu merupakan penghormatan juga.

Demekian pembahasan ziyarah kubur ini, dan apabila ada kekurangan –kekurangan (karena keterbatasan lembar dan hal ini merupakan hanya sebagi sarana pembelajaran bagi siswa Madrasah Aliyah Futuhiyyah-1) agar bisa disampaikan via e-mail atau kolom komentar yang telah tersedia. Semoga bisa bermanfaat bagi diri penulis maupun bagi yang membacanya dan merupakan amal saleh untuk bekal dihari akhhir nanti.



[1] Hadits Shahih riwayat Imam al Bukhari

Jumat, 30 Oktober 2009

wisata spiritual (3)

ZIYARAH KUBUR sebagai wisata spiritual (3)

Oleh: A.Adib Masruhan

Memandikan mayyit menurut ajaran Rasulullah SAW adalah sebagai berikut, dimulai dengan me-wudlukannya seperti wudlu kita mau sholat, kita tidak diperbolehkan melihat aurat simayyit begitupula memegang (auratnya) tanpa ada lapisan penghalang antara kita dengan mayyit, kemudian kita lakukan memandikan, setelah membersihkan kotoran yang najis bila ada termasuk mengeluarkan apa yang ada dalam perut dengan cara menekan sedikit diarea perut, dan memulai menyiramkan air yang hangat namun suci dan tidak musta’mal pada anggota wudlu terlebih dahulu dengan mendahulukan yang kanan atau arah kanan. Disini kami sampaikan beberapa hadits tentang memandikan mayyit biar lebih jelas.

عن عائشة رضي الله عنها تقول فغسلوه وعليه قميص يصبون الماء فوق القميص ويدلكونه بالقميص دون أيديهم[1]

رواه أبو داود في الجنائز 2733

“Dari Aisyah RA berkata: mereka memandikan Nabi SAW dengan menyiramkan air dari atas pakaian, dan menggosoknya dengan kain bukan tanganya (langsung). (HR Abu Dawud :2733)

أن عليا رضي الله عنه غسل النبي صلى الله عليه وسلم وعلى النبي صلى الله عليه وسلم قميص وبيد علي رضي الله عنه خرقة يتبع بها تحت القميص [2]

سنن البيهقي الكبرى ج: 3 ص: 388

Bahwasanya Ali RA memandikan Nabi SAW sedang Nabi SAW tetap memakai pakaian, ditangan Ali RA ada kain untuk menggosok dari bawah pakaian” (HR Baihaqi 3:388)

عن بن سيرين قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من غسل ميتا فليبدأ بعصره [3]

سنن البيهقي الكبرى ج: 3 ص: 388

Dari Ibnu Sirin berkata, berkata Rasulullah SAW: Barang siapa memandikan mayyit maka agar memulai dengan menekan perutnya” (HR Baihaqi 3:388)

عن أم عطية أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لهن في غسل ابنته إبدأن بميامنها ومواضع الوضوء منها

رواه البحاري في كتاب الوضوء 162

Dari Ummi Athiyah, bahwasanya Nabi SAW berkata kepadanya ketika memandikan putrinya: Mulailah dengan arah kanan dan anggota anggota wudlu”(HR Bukhori :162)

عن أم قيس قالت توفى ابني فجزعت عليه فقلت للذي يغسله لا تغسل ابني بالماء البارد فتقتله فانطلق عكاشة بن محصن إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخبره بقولها فتبسم ثم قال ما قالت طال عمرها فلا نعلم امرأة عمرت ما عمرت [4]

سنن النسائي (المجتبى) ج: 4 ص: 29

Dari Ummu Qais berkata, anak meninggal dunia, aku sedih atasnya, maka aku pesan kepada yang memandikan: jangan mandikan anakku dengan air dingin nanti bisa membunuhnya, laporlah Ukasyah ibn Mihson kepada Rasulullah SAW tentang ucapanya, beliau tersenyum dan berkata: (lakukan) apa yang dikatakan, dia orang yang panjang umurnya, saya tidak tahu ada perempuan lebih panjang usianya dibanding dia” (HR Nasai 4:29)

Ada di sebagian masyarakat membuat ukup (membakar menyan arab dicampur denga kayu garu) untuk suatu acara adalah diperbolehkan, asal tidak terkesan bahwa ukup yang dilakukan itu menyerupai kelompok non muslim, seperti membakar kemenyan jawa, atau menggunakan sio dan lain sebagainya yang termasuk alasan dilarangnya menyerupai orang non muslim. Jadi dalam Islam atau tradisi Arab yang telah dilegalisasi oleh Islam ukup itu terdiri dengan pembakaran kayu garu / gaharu, bubuk kayu cendana dan kemenyan Arab. Diperbolehkanya membuat ukup itu berdasar pada hadits

عن جابر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أجمرتم الميت فأوتروا

موارد الظمآن ج: 1 ص: 191

“Dari Jabir berkata, Rasulullah SAW bersbda: bila kamu membuat ukup untuk mayyit maka lakukanlah secara ganjil” (Mawarid Dlom’an 1:191)

عن أسماء بنت أبي بكر أنها قالت لأهلها: أجمروا ثيابي إذا مت، ثم حنطوني ولا تذروا على كفني حناطا، ولا تتبعوني بنار

رواه مالك في الجنائز 474

“Dari Asma binti Abi Bakar sewaktu memberi wasiat kepada keluarganya berkata: berilah ukup pada pakaianku (kafanku) jika aku mati, kemudian beri minyak wangi pada kafanku, dan jangan tinggal kan kafanku untuk terkena minyak wangi, dan jangan ada api dalam mengiring jenazahku” (HR Malik ibn Anas dalam kitab al Muwatho bab al Janaiz :474)

Disini kami ingatkan kepada para perempuan, bahwa ziyarah kubur hukumnya jawaz / boleh bagi mereka, berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang panjang menceritakan tentang ziyarah beliau dimalam hari ke pekuburan Baqi’ yang dikuntit atau diikuti secara sembunyi oleh Aisyah, yang akhirnya Aisyah bertanya bagaimana kalau dirinya ziyarah kubur, kemudian beliau mengajar Aisyah RA tentang cara berziyarah.

قالت: قلت: كيف أقول لهم يا رسول الله ؟ قال قولي: السلام على أهل الديار من المسلمين والمؤمنين يرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين، وإنا إن شاء الله للاحقون [5]

رواه مسلم في كتاب الجنائز 1619

“Aisyah bercerita: aku bertanya: Bagaimana aku mengucapkan kepada mereka (ahli kubur) ya Rasulullah? Beliau menjawab: Katakanlah Assalamu alaikum Ahla diyar …( semoga damai atas kalian penduduk perkampungan, dari mukminin dan muslimin, semoga Allah memberi rahmat bagi yang telah mendahhului kita dan yang akan dating, kita insya Allah juga menyusul” (HR Muslim :1619)

Memang ada beberapa hadits yang melarang wanita ziyarah kubur, dan pendapat beberapa ulama yang mengharamkanya, itu semua karena ada kekhawatiran bahwa wanita itu kurang tegar dalam menghadapi kematian dan kecil hati bila mengingat pada kematian disaat ziyarah kubur, sehingga dikhawatirkan ada Niyahah atau teriakan pilu atau meratap di kuburan.

Duduk secara mutlak diatas (disamping) kuburan hukumnya boleh, apalagi kalau tujuanya untuk bertahlil dan baca Alqur’an atau pengajian seperti dalam acara haul dan lain sebagainya adalah dianjurkan, karena hal itu sering dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya, sebagaimana hadits hadits berikut:

عن علي رضي الله عنه قال كنا في جنازة في بقيع الغرقد فأتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقعد وقعدنا حوله ومعه مخصرة فنكس فجعل ينكت بمخصرته [6]

صحيح البخاري ج: 4 ص: 1891 صحيح مسلم ج: 4 ص: 2039

“Ali berkata: kami sedang (mengantarkan) jenazah dipekuburan Baqi, kemudian Rasulullah SAW datang dan duduk, kamipun duduk disekitarnya, beliau memegang tongkat dengan menunduk dan memukul mukulkan tongkatnya …. “ (HR Bukhori 4:1891 dan Muslim 4:2039)

عن البراء بن عازب قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة رجل من الانصار فانتهينا الى القبر، قال جلس رسول الله صلى الله عليه وسلم وجلسنا حوله وكأن على رؤوسنا الطير، قال: فجعل ينظر الى السماء ويرفع بصره ثم ينظر الى الارض وينكت في الأرض ويحدث نفسه، ثم قال، اعوذ بالله من عذاب القبر، مرارا،[7]

مسند الروياني ج: 1 ص: 263

“Dari Al Barra’ ibn Azib berkata: Kami keluar bersama Rasulullah SAW dalam sebuah jenazah seorang lelaki Anshor dan sampailah kita ke sebuah kuburan, berkata Barra’: duduklah Rasulullah SAW dan kami duduk disekelilingnya, dan seakan diatas kepala kita ada burung (kami diam dan tidak bergerak), barra’ bercerita: beliau melihat keatas (kelangit) dengan mengangkat penglihatanya, kemudian melihat ke bawah, lantas berbisik seakan bicara dengan dirinya, kemudian berkata: Aku berlindung dari siksa kubur … berkali kali….” (Musnad Royani 1:263)

Namun kalau duduk dikuburan dengan tujuan utuk penghinaan atau pelecehan bahkan untuk buang hajat itu baru diharamkan, seperti kalau kita perhatikan dalam hadits hadits berikut serta penjelasan dari ahlinya:

عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لأن يجلس أحدكم على جمرة فتحرق ثيابه فتخلص إلي جلده خير له من أن يجلس على قبر[8]

صحيح مسلم ج: 2 ص: 667

“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: seseorang diantara kalian lebih baik duduk di bara api sampai membakar bajunya dan menembus kulitnya dari pada duduk diatas kubur” ( HR Muslim 2:667)

عن على رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم انه كان في جنازة فأخذ عودا ينكت في الأرض فقال ما منكم من أحد الا قد كتب مقعده من النار أو من الجنة قالوا يا رسول الله أفلا نتكل قال اعملوا فكل ميسر فأما من أعطى واتقى وصدق بالحسنى فسنيسره لليسرى وأما من بخل واستغنى وكذب بالحسنى فسنيسره للعسرى[9]

مسند أحمد ج: 1 ص: 140

"Dari Ali RA, dari Nabi SAW bahwasanya beliau dalam penguburan jenazah, mengambil tongkat dan menusukkan ke tanah sambil mengatakan: tiada seorangpun dari kalian kecusali telah tercatat tempatnya di neraka atau di surga, (orang orang disekitarnya) berkata: Wahai Rasulullah apakah kita tidak tawakkal saja? Beliau menjawab: beramallah, karena setiaporang akan dimudahkan sesuai amalnya, -Adapun orang yang memberikan (hartanya dijalan Allah) dan bertaqwa, danmembenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah, dan adapun orang orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaikmaka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar (QS al Lail 92:5-10) (HR Ahmad 1:140)

عن أبى هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من قعد على قبر فتغوط عليه أو بال فكأنما قعد على جمرة فثبت بذلك أن الجلوس المنهى عنه في الآثار الأول هو هذا الجلوس فأما الجلوس لغير ذلك فلم يدخل في ذلك النهى، وهذا قول أبى حنيفة وأبى يوسف ومحمد رحمهم الله تعالى وقد روى ذلك عن على وابن عمر رضي الله عنهم، أن مولى لآل علي رضي الله عنه حدثه أن علي بن أبي طالب رضي الله عنه كان يجلس على القبور، وقال المولى كنت أبسط له في المقبرة فيتوسد قبرا ثم يضطجع

شرح معاني الآثار ج: 1 ص: 517

“Dari Abi Hurairah RA bahwasanya Nabi SAW berkata: Barang siapa duduk dikuburan kemudian buang hajat diatasnya, atau kencing, seakan akan duduk diatas bara api. Maka yang dimaksud dengan duduk diatas kubur yang dilarang oleh hadits di depan adalah duduk untuk buang kotoran, sedang duduk yang bukan untuk buang kotoran maka tidak termasuk duduk duduk yang dilarang. Ini pendapat Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhamad. Diriwayatkan dari Sayyidina Ali dan Ibn Umar, bahwa seorang bekas budak milik keluarga Ali bercerita: Sayidina Ali ibn Abi Thalib duduk diatas kubur, aku menggelar (kambal) untuknya dan dia tiduran berbantalkan kuburan” (Syarah Maani al Atsar 1:517)

Sebetulnya ziyarah kubur itu tidak ditentukan pada hari tertentu, seperti hari jum’at, namun hari jumat itu mempunyai nilai lebih dibanding hari yang lain, maka hari itu dimanfaatkan oleh umat Islam untuk hari libur, hari ziyarah kubur dan lain sebagainya.

Dalam sebuah hadits disebutkan diantara kelebihan dari hari jum’at adalah bila seseorang meninggal dunia pada hari jumat maka dia terselamatkan dari siksa kubur.

عن عبدالله بن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما من مسلم يموت يوم الجمعة او ليلة الجمعة إلا وقاه الله فتنة القبر [10]

رواه الترمذي في كتاب الجنائز 994

“Dari Abdullah Ibn Umar berkata: Rasulullah SAW bersabda: bila seorang muslim meninggal dunia pada hari jumat atau malam jumat maka dia diselamatkan oleh Allah dari fitnah kubur” (HR Tirmidzi :994)

عن محمد بن النعمان رفع الحديث إلى النبي صلى الله عليه وسلم قال: من زار قبر والديه أو أحدهما في كل جمعة مرة، غفر له وكتب برا [11]

مكارم الأخلاق ج: 1 ص: 83

“Dari Muhammad Ibn Nu’man memarfu’kan hadits dari Nabi SAW berkata: Barang siapa ziyarah kubur kedua orang tuanya atau salah satunya setiap jumat maka diampuni dosanya dan ditulis sebagai amal bakti” (Makarim al Akhlaq 1:83)

Orang yang meninggal tetap merasakan rasa sakit seperti sewaktu dia masih hidup, sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah SAW :

عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كسر عطم الميت ككسره حي [12]

رواه أبو داود في كتاب الجنائز 2792

“Dari Aisyah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: memecah tulang mayit seperti memecahkan tulang orang yang hidup” (HR Abu Dawud :2792)

Siksa kubur itu sampai hari kiamat, jadi mereka yang amalnya waktu di dunia kurang baik disiksa sampai hari kiamat, sebagaimana hadits Nabi SAW yang menjelaskan bahwa sewaktu beliau lewat dikuburan, mengetahui penghuninya disiksa bukan karena dosa besar, tetapi hanya tidak berhati hati dengan najis air kencingnya, dan yang satu karena namimah, sedekah tapi masih dibicarakan terus, mereka diringankan hanya selama pelepah kurma yang dipasang Nabi SAW belum kering, lihat hadits dibawah ini:

عن ابن عباس قال: مر النبي صلى الله عليه وسلم بحائط من حيطان المدينة او مكة فسمع صوت إنسان يعذبان في قبورهما, وما يعذبان في كبير, ثم قال: بلى كان أحدهما لايستتر من بوله, وكان الأخر يمشي بالنميمة، ثم دعا بجريدة فكسرهما كسرتين، فوضع على كل قبر منهما كسرة، فقيل له: يا رسول الله لم فعلت هذا؟ قال: لعله أن يخفف عنهما مالم تيبسا او الى أن ييبسا.[13]

رواه البخاري في كتاب الوضوء 209

“Dari Ibnu Abbas berkata: Nabi SAW lewat di kuburan Madinah atau Makkah lalu mendengar jeritan dua orang yang sedang tersiksa, kata beliau merak disiksa bukan karena melakukan dosa besar, yang satu kurang berhati hati dengan kencingnya dan yang lain selalu melakukan namimah, beliau meminta diambilkan pelepah kurma, dan dibelah jadi dua, yang setiap potongnya ditaruh di setiap kuburan. Ditanyakan: kenapa hal ini kamu lakukan Wahai Rasulullah? Jawab beliau: Agar mereka diringankan siksanya selama palepah ini belum mongering” (HR Bukhori :209)

Hanya sekelumit pembahasan ini yang bisa kami sajikan kepada umat Islam khususnya siswa MAF-1 dalam wisata spiritual kita ke alam kubur, semoga bisa mengingatkan kita atas kehidupan setelah meninggal.



[1] Hadits Hasan.

[2] Hadits Mursal

[3] Hadits Shahih riwayat Imam al Bukkhari

[4] Hadits Hasan.

[5] Hadits Shahih riwayat Imam Muslim

[6] Hadits Shahih (Muttafaq alaih) riwayat Imam Muslim dan al Bukhari.

[7] Hadits Hasan.

[8] Hadits Shahih .

[9] Hadits Shahih.

[10] Hadits dloif.

[11] Hadits Dloif.

[12] Hadits Shahih.

[13] Hadits Shahih riwayat Imam al Bukhari.

Sabtu, 24 Oktober 2009

wisata (2)

ZIYARAH KUBUR sebagai wisata spiritual (2)
Oleh: A.Adib Masruhan

Mengingatkan mayit akan hal yang akan dihadapi sebentar lagi disebut dengan istilah Talqin.
Dasar men-Talqin mayyit itu pertama menggunakan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa mayyit itu mendengar apa yang terjadi diatas kuburnya, karena mayyit mendengar maka dalam kesempatan terakhir kita mengingatkan kepadanya “bahwa nanti akan kedatangan malaikat munkar dan nakir dengan mengajukan berbagai pertanyaan”, kita ingatkan seandinya ditanya begini maka jawabnya begitu. Hadits diatas adalah shohih, kemudian dasar kedua adalah hadits berikut (namun sebagian ulama mengatakan Dloif) yang menyatakan dilakukanya Talqin terhadap mayyit dengan bunyi hadits sebagai berikut:
عن سعيد بن عبد الله الأودي قال شهدت أبا أمامة وهو في النزع فقال إذا أنا مت فاصنعوا بي كما أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: إذا مات أحد من إخوانكم، فسويتم التراب على قبره، فليقم أحدكم على رأس قبره، ثم ليقل: يا فلان بن فلان، فإنه يسمعه ولا يجيب، ثم يقول: يا فلان بن فلان، فإنه يستوي قاعدا، ثم يقول: يا فلان بن فلانة فإنه يقول: أرشدنا رحمك الله، ولكن لا تشعرون، فليقل: اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله، وأنك رضيت بالله ربا، وبالإسلام دينا، وبمحمد نبيا، وبالقرآن إماما، فإن منكرا او نكيرا يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه ويقول: انطلق بنا ما نقعد عند من لقن حجته فيكون الله حجيجه دونهما قال رجل: يا رسول الله، فإن لم يعرف أمه، قال فينسبه إلى حواء يا فلان بن حواء
مجمع الزوائد ج: 3 ص: 45 ,كشف الخفاء ج: 1 ص: 376

“Dari Said ibn Abdullah al Audi berkata: saya menyaksikan Abu Umamah ketika Naza’ (saat menjelang kematian) dia berwasiat : Apabila saya meninggal dunia, maka lakukan sebagaimana perintah Rasulullah SAW yang bersabda: Apabila ada seseorang meninggal dunia, dan kalian telah meratakan tanah atas kuburannya, maka berdirilah salah seorang diantara kalian diarah kepalanya, kemudian katakan: Ya Fulan ibn Fulan, (maka mayyit itu mendengarnya tapi tidak menjawab), kemudian katakan: Ya Fulan ibn Fulan, (maka mayyit itu duduk) kemudian katakan: Ya Fulan ibn Fulanah, maka mayyit tersebut mengatakan: berilah kami petunjuk, semoga Allah memberi rahmat kepadamu, tapi kalian tidak merasa, maka katakanlah: Ingatlah apa yang engkau bawa keluar dari dunia, Syahadat bahwasanya tiada Tuhan kecuali Allah, dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, Engkau ridlo dengan Tuhanmu yaitu Allah, agamamu Islam, dengan Muhammad sebagi Rasul, dan Alqur’an sebagai panutanmu. Maka malaikat Munkar dan Nakir memegang tangan teman sambil mengatakan: mari kita tinggalkan, orang ini telah dilatih jawaban jawaban, maka Allah yang akan membelanya. Bertanya seseorang: Ya Rasulullah, seandainya kita tidak mengenal ibunya bagaimana? Jawab beliau: diikutkan ke Siti Hawa, jadi Fulan ibn Hawa”
(Majma’u Zawaid :3 hal 45 dan Kasyful Khofa :1 hal 376)

Tradisi sebagian masyarakat kita, setelah melkukan penguburan jenazah di tanah pekuburan, mereka diminta oleh pihak tuan rumah untuk rehat sejenak dirumahnya, dengan tujuan biar tidak terasa sepi, dan mereka mengeluarkan suguhan dan hidangan kepada para tamu sebagai “memulyakan tamu” , namun disebagian tempat lain tidak boleh menghidangkan suguhan atau hidangan tersebut.
Hukum tradisi tersebut adalah boleh, orang yang habis mengantarkan jenazah ke kuburan dan kemudian makan di keluarga yang sedang duka asal atas permintaan dari keluarga, jadi bukan memaksa minta makan. Hal ini sebagaimana dilakukan Nabi SAW dengan para sahabatnya pada cerita hadits berikut :

عن رجل من الأنصار قال، خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة، فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر: أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه، فلما رجع استقبله داعي امرأة، فجاء وجيء بالطعام، فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فمه، ثم قال: أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها، فأرسلت المرأة قالت: يا رسول الله، إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة فلم أجد، فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلى بها بثمنها فلم يوجد، فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أطعميه الأسارى
سنن أبي داود ج: 3 ص: 244

“Dari seorang sahabat Anshor berkata: kani keluar bersama Rasulullah SAW dalam mengantarkan jenazah, aku melihat beliau SAW diatas kuburan memberi pengarahan kepada penggali kubur: ”Lebarkan diarah kaki, Lebarkan diarah kepala” kemudian sewaktu beliau selesai dan pulang maka dihadang oleh utusan seorang perempuan (isteri si mayit), maka datanglah beliau dan disuguhi makanan, Rasulullah SAW menyantap makanan tersebut dan diikuti oleh kaum, bapak kami melihat Rasulullah SAW mengunyah daging dalam mulutnya, tapi beliau seraya mempertanyakan: “Aku menemukan bahwa daging kambing ini dimasak tanpa seijin pemiliknya” maka perampuan tersebut datang sambil menceritakan (asal usul daging yang dimasak tanpa seijin pemiliknya): Ya Rasulullah, saya mengutus orang ke Baqi untuk membeli kambing tapi tidak berhasil, kemudian aku perintahkan agar mendatangi tetanggaku yang kemarin beli kambing untuk aku ganti harganya, juga tidak mendapatkanya, kemudian aku minta kepada isteri pemilik kambing agar mengirim kambing tersebut ke tempatku, barulah kuperoleh kambing tersebut. Rasulullah SAW bersabda: berikanlah makanan ini kepada para tawanan” (HR Abu Dawud 3:244)

Dalam hadits ini diceritakan bahwa Nabi setelah selesai menghadiri pemakaman jenazah seorang sahabat, beliau diminta mampir kerumah duka dan makan makan bersama para sahabatnya, namun hidangan yang disediakan (daging kambing) dimasak sebelum memperoleh ijin dari pemilik asli yaitu suami perempuan tetangga (pemilik kambing) karena tidak ada di tempat, sehingga Rasulullah SAW menolak untuk makan, dan mengatakan untuk diberikan kepada para tawanan, karena kalau menunggu ijin dari pemilik asli harus membutuhkan waktu yang tidak sebentar, dan mau membuang makanan juga mubadlir. Jadi pada prinsipnya Rasulullah SAW tidak melarang bahkan beliau sebetulnya mau makan, namun karena kambing yang akan disantap beliau masih belum mendapatkan ijin pemilik asli (yang tidak ada ditempat) sehingga beliau tidak sempat menyantap hidangan yang telah disediakan oleh sohibul bait.

Justru yang sunnah dn dianjurkan oleh Rasulullah SAW adalah kita mengirim makanan kepada keluarga yang tertimpa musibah, karena tidak terpikirkan oleh merka untuk menyediakan makanan bagi diri mreka.
Sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW apabila ada saudara kita tertimpa musibah berupa kematian untuk mengirimi makanan, karena mereka sedang mendapat musibah berupa kematian dan belum sempat memasak, dan akan lebih baik kalau dikirim dalam bentuk matang, atau siap saji.

عن عبد الله بن جعفر قال: لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اجعلوا لآل جعفر طعاما، فإنه قد أتاهم ما يشغلهم
رواه أبو دود و الترمذي )الأحاديث المختارة ج: 9 ص: 167(
“Dari Abdullah ibn Ja’far berkata: sewaktu datang berita duka dari Ja’far, Rasulullah SAW mengatakan: Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesuatu yang menyibukkan mereka telah datang” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini Rasulullah SAW memerintahkan kepada kaum muslimin (sahabat) agar membantu kepada keluarga Ja’far dengan mengirimkan makanan, karena keluarga Ja’far sedang sibuk mengurus jenazah dan diperkirakan oleh Rasulullah SAW tidak sempat untuk memasak makanan yang dibutuhkan. Dan makanan ini adalah jenis yang telah matang lebih baik dari pada yang masih mentah yang membutuhkan untuk pengolahan.

Posisi Ruh seseorang yang telah dikuburkan (kadang kadang) selama tujuh hari pertama gentayangan di areal pekuburan, tapi bagi ruh seorang Muslim ruhnya tidur didalam kuburan bagaikan tidur disurga, selalu menjawab salam orang yang ziyarah, diberi kenikmatan dialam kuburnya.
Dalam keterangan Ibnu Taimiyah dijelaskan sebagai berikut:

وهذا جاء فى عدة آثار أن الأرواح تكون فى أفنية القبور قال مجاهد الأرواح تكون على أفنية القبور سبعة أيام من يوم دفن الميت، لا تفارقه، فهذا يكون أحيانا، وقال مالك بن أنس بلغنى أن الأرواح مرسلة تذهب حيث شاءت والله أعلم
كتب ورسائل وفتاوى ابن تيمية في الفقه ج: 24 ص: 365

“Dan ini datang dari berbagai Atsar (hadits) yang menyatakan bahwa Ruh itu berada di areal pekuburan. Berkata Mujahid (Tabiin ahli Tafsir) bahwa Ruh berada di areal pekuburan selama tujuh hari dari hari pemakaman, tidak meninggalkan kuburnya, ini terjadi kadang kadang. Berkata Malik ibn Anas, ada penjelasan yang aku terima bahwa Ruh manusia itu gentayangan, bepergian kemana ia kehendaki. Wallahu a’lam. (Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Fikih 24:365)

Melihat keterangan dari ungkapan yang diceritakan oleh Ibnu Taimiyah diatas, bahwa ruh mayyit itu gentayangan di areal pekuburan selama tujuh hari, maka dilakukan selamatan dan dikirimi pahala / doa agar ruh yang masih belum tenang tersebut menjadi tenang. Sedang hidangan yang disuguhkan berupa minuman dan snack sampai berkat / bingkisan yang dibawa pulang itu merupakan sedekah oleh keluarga mayyit yang pahalanya juga disampaikan / dihadiahkan kepada mayyit. (lihat dalam pembahasan TAHLIL fenomena transfer pahala tentang sedekah pada mayyit).

Sedang permasalahan memberi kafan pada mayyit dengan menggunakan kain / kafan yang ada nilai lebihnya adalah boleh, bahkan disunnahkan, sebagaimana yang beliau lakukan terhadap putrinya. Beliau memberikan pakaianya untuk dijadikan kafan pada lapisan yang paling dalam dengan harapan agar sang putri terselamatkan dari siksa kubur. Dengan demikian, sangat dianjurkan bila kita sempat mencuci kain yang akan kita gunakan kafan kita dengan air zamzam karena air zamzam merupakan air yang punya nilai lebih dibanding dengan air lainya, sehingga kita berbekal (dikubur nanti) dengan kain kafan yang telah tercuci dengan air zamzam, karena tidak mungkin kita memperoleh kain dari Nabi SAW seperti yang beliau lakukan terhadap putrinya

عن أم عطية الأنصارية رضي الله عنها قالت: دخل علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم حين توفيت ابنته فقال: اغسلنها ثلاثا أو خمسا أو أكثر من ذلك، إن رأيتن ذلك بماء وسدر، واجعلن في الآخرة كافورا أو شيئا من كافور، فإذا فرغتن فآذنني، فلما فرغنا آذناه، فأعطانا حقوه، فقال: أشعرنها إياه، تعني إزاره
صحيح البخاري ج: 1 ص: 422
“Dari Ummi Athiyah Al Anshoriyah RA berkata ketika kami sedang memandikan putrid Rasulullah SAW yang meninggal dunia beliau memberi pengarahan: Basuhlah tiga kali, atau lima kali atau lebih bila diperlukan, basuh dengan air dan bidara dan yang terakhir dicampur dengan Kafur atau sejenisnya, kalau sudah selesai beritahu saya. Dan setelah kami selesai memandikan kami beritahu beliau, dan beliau memberi kami sarung dan berpesan: jadikan lapisan yang menempel tubuh, maksudnya sarung tersebut. (HR Bukhori 1:422)

عن ابن عمر قال: لمّا توفي عبد الله بن أبيّ جاء ابنه عبد الله بن عبد الله الي رسول الله صلي الله عليه وسلم, فسأله ان يعطيه قميصه يكفن فيه اباه, فأ عطاه , ثمّ سأله ان يصلّي عليه , فقام رسول الله صلي الله عليه وسلم ليصلي عليه , فقام عمر, فأخذ بثوب رسول الله صلي الله عليه وسلم, ... الحديث
رواه البخاري 4302
“Dari Ibn Umar berkata: Sewaktu Abdullah ibn Ubayyi (ibn Salul pemimpin orang orang munafik) meninggal, datanglah anaknya yaitu Abdullah ibn Abdullah menghadap Rasulullah SAW memohon bajunya untuk membungkus (mengkafani) bapaknya, setelah dikasih dia memohon agar Rasulullah SAW berkenan mensholatinya dan diperkenankan oleh beliau, namun berdirilah Umar (ibn Khotob) seraya menarik baju Rasulullah SAW tersebut …” (HR Bukhori :4302)

Dalam hadits kedua ini diceritakan bahwa Abdullah ibn Ubay ibn Salul meninggal dunia, anaknya yang bernama Abdullah (juga) menghadap Rasulullah SAW memohon bajunya akan dipergunakan sebagai kafan ayahnya dengan maksud agar ayahnya (yang munafiq tersebut) terselamatkan dari siksaan dikuburnya, namun sahabat Umar ibn Khotob berdiri dan mencabut baju dan melarang beliau memberikan pakaianya, bahkan melarang beliau untuk mensholatinya dengan menyampaikan bahwa Allah SWT melarang Nabi SAW mensholati / mendoakan orang munafik seperti Abdullah ibn Ubay tersebut.

Sedang mengenai rajah atau tulisan tulisan yang berkhasiat yang ditulis pada kain kafan itu hukumnya harus dirinci, bila tulisan itu akan hilang atau tidak kelihatan setelah beberapa saat, seperti Asmaul Husna yang ditulis dikafan dengan air zamzam (karena terbatasnya air zamzam) atau ditulis dengan minyak wangi sehingga tidak nampak bentuk dan tulisanya itu boleh, namun bila kafan bertuliskan lafadl lafadl yang harus diagungkan seperti asmaul husna ditulis dengan tinta pada kafan mayyit dan tampak tulisanya itu haram, mengingat bahwa mayyit akan membusuk dan kotor, jadi keharamanya adalah mencampurkan lafadl yang harus diagungkan dengan kotoran seperti nanah dan busuknya jasad.

Sedangkan melempar butiran tanah kearah kuburan setelah pemakaman itu hukumnya sunnah, dengan tujuan mengingatkan kita bahwa dari tanah tersebut kita diciptakan, dan ke tanah itu kita dikembalikan serta dari tanah itu pula kita akan dibangkitkan, sebagaimana hadits Rasulullah SAW melakukan hal tersebut yang diceritakan dalam Tafsir Ibn Katsir sebagai berikut:

وفي الحديث الذي في السنن أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حضر جنازة فلما دفن الميت أخذ قبضة من التراب فألقاها في القبر وقال: منها خلقناكم ثم أخذ أخرى وقال وفيها نعيدكم ثم أخرى وقال ومنها نخرجكم تارة أخرى
تفسير ابن كثير ج: 3 ص: 157
“Dalam hadits dikitab sunan dinyatakan bahwasanya Rasulullah SAW menghadiri jenazah, dan setelah pemakaman selesai, beliau mengambil segenggam tanah dan melempar kearah kubur sambil membaca (ayat Alqur’an): dari tanah ini Kami menciptakan kalian, kemudian mengambil tanah lagi sambil mengucapkan: ke tanah ini pula Kami mengembalikan kalian, kemudian mengambil lagi seraya mengatakan: dan dari tanah ini pula Kami membangkitkan kalian kembali. (Tafsir Ibn Katsir 3:157)

Demikian pemikiran pemikiran untuk memberi tuntunan kepada umat islam (khususnya para siswa MAF-!) dalam upayanya dan penghormatanyanya terhadap keluarga yang telah mendahului kita. Semoga ada manfaatnya